Wengker.com, Filosofi Dan Budaya - Akankah kita selalu mencaci, mencari cari kesalahan orang lain?? sampai kapan kita akan disibukkan dengan hal hal yang demikian??? Ingatlah bahwa kita juga harus bisa menerima kenyataan walau SEPAHIT APAPUN.
Bisakah luka yang teramat dalam ini nanti akan sembuh? Bisakah kekecewaan, bahkan ke-putus asa-an, yang mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta saudara kita ini pada akhirnya nanti akan kikis?
Adakah kemungkinan kita akan bisa merangkak naik ke bumi dari jurang yang teramat curam dan dalam?
Akankah api akan berkobar-kobar lagi?
Apakah asap akan membubung lagi dan memenuhi angkasa Tanah Air?
Akankah kita semua akan bertabrakan lagi satu sama lain?
Jarah-menjarah satu sama lain dengan pengorbanan yang tidak akan terkirakan?
Adakah kemungkinan kita tahu apa yang sebenarnya sedang kita jalani?
Bersediakah kita sebenarnya untuk tahu persis apa yang sesungguhnya kita cari?
Cangkrawala yang manakah yang menjadi tujuan sebenarnya dari langkah-langkah kita?
Pernahkah kita bertanya bagaimana cara melangkah yang benar?
Pernahkah kita mencoba menyesali hal-hal yang barangkali memang perlu disesali dari perilaku-perilaku kita yang kemarin?
Bisakah kita menumbuhkan ke-rendah hati-an di balik kebanggaan-kebanggaan?
Masih tersediakah ruang di dalam dada kita dan akal kepala kita untuk sesekali berkata kepada diri sendiri?
Bahwa yang bersalah bukan hanya mereka, bahwa yang melakukan dosa bukan hanya ia, tetapi juga kita!
Masih tersediakah peluang di dalam kerendahan hati kita untuk mencari apapun saja yang kira-kira kita perlukan meskipun barangkali menyakitkan diri kita sendiri?
Mencari hal-hal yang kita benar-benar butuhkan agar supaya sakit, sakit, sakit kita ini benar-benar sembuh total.
Sekurang-kurangnya dengan perasaan santai kepada diri sendiri untuk menyadari dengan sportif bahwa yang mesti disembuhkan itu nomor satu bukan yang di luar diri kita tetapi di dalam diri kita.
Yang kita perlu utama lakukan adalah penyembuhan diri yang kita yakini bahwa harus betul-betul disembuhkan justru adalah segala sesuatu yang berlaku di dalam hati dan akal pikiran kita.
Saya ingin mengajak engkau semua memasuki dunia ilir-ilir.
Ilir-ilir…
Ilir-ilir…
Tandure wosumiler tak ijo royo-royo,
Tak sengguh temanten anyar.
Kanjeng Sunan Ampel seakan-akan baru hari ini bertutur kepada kita,
tentang kita, tentang segala sesuatu yang kita mengalaminya sendiri.
Namun, tidak kunjung sanggup kita mengerti.
Sejak lima abad silam syair itu ia telah lantunkan dan tidak ada jaminan bahwa sekarang kita sudah paham.
Padahal kata-kata beliau itu mengeja kehidupan kita ini sendiri, alfa-beta, alif, ba’, ta’, kebingungan sejarah kita dari hari ke hari.
Sejarah tentang sebuah negeri, yang puncak kerusakannya terletak pada ketidaksanggupan para penghuninya untuk mengakui betapa kerusakan itu sudah sedemikian tidak terperi.
“Menggeliatlah dari mati mu,” tutur Sang Sunan.
Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun.
Bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu.
Sungguh negeri ini adalah penggalan surga.
Surga seakan-akan pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya.
Dan cipratan keindahannya itu bernama INDONESIA RAYA!!
Kau bisa tanam benih kesejahtraan apa saja di atas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan.
Tidak mungkin kau temukan makhluk Tuhan-mu kelaparan di tengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra ini.
Bahkan bisa engkau selenggarakan dan rayakan pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa dicapai oleh negeri-negeri lain yang manapun.
Namun kita memang telah tidak mensyukuri rahmat sepenggal surga ini.
Kita telah memboroskan anugerah Tuhan ini melalui cocok tanam ketidakadilan dan panen-panen kerakusan.
Cah angon-cah angon,
Penekno blimbing kuwi.
Lunyu-lunyu penekno,
Kanggo mbasuh dodot iro.
Kanjeng Sunan tidak memilih figur, misalnya, Pak Jendral, juga bukan intelektual, ulama, seniman, sastrawan, atau apa pun. Tetapi cah angon-cah angon. Beliau juga menuturkan: “Penekno blimbing kuwi.” Bukan penekno pelem kuwi, bukan penekno sawo kuwi, bukan penekno buah-buah yang lain. Tapi blimbing, berkikir lima.
Terserah apa tafsirmu mengenai Lima. Yang jelas, harus ada yang memanjat pohon yang licin itu, lunyu-lunyu penekno, agar belimbing bisa kita capai bersama-sama.
Dan, yang harus memanjat adalah bocah angon, anak gembala. Tentu saja dia boleh seorang doktor, boleh seorang seniman, boleh seorang kiai, boleh seorang jendral, atau siapa pun.
Namun, ia harus memiliki daya angon, daya menggembalakan. Kesanggupan untuk ngemong semua pihak. Karakter untuk merangkul dan memesrahi siapa saja sesama saudara sebangsa. Determinasi yang menciptakan garis resultan kedamaian bersama.Pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua kecendrungan.
Bocah angon adalah seorang pemimpin nasional, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu gerombolan.
Selicin apapun pohon-pohon tinggi Reformasi ini, sang bocah angon harus memanjatnya, harus dipanjat sampai selamat memperoleh buahnya.
Bukan ditebang, dirobohkan, atau diperebutkan.Dan air saripati belimbing lima kikir itu diperlukan oleh bangsa ini untuk mencuci pakaian nasionalnya. Pakaian adalah akhlak.Pakaian adalah sesuatu yang menjadikan manusia bukan binatang.
Kalau engkau tidak percaya berdirilah engkau di depan pasar dan copotlah pakaianmu, maka engkau kehilangan segala macam harkatmu sebagai manusia. Pakaian ‘lah yang membuat manusia bernama manusia.
Pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral dan sistem nilai. Sistem nilai itulah yang harus kita cuci dengan pedoman Lima.
Dodot iro-dodot iro,
Kumiter bedah ing pinggir.
Dondomono jlumetono,
Kanggo sebo mengko sore.
Mumpung padang rembulane,
Mumpung jembar kalangane.
Yo surak o, surak hiyo.
Dodot iro-dodot iro kumiter bedah ing pinggir. Pakaian kebangsaan kita, harga diri nasionalisme kita telah sobek-sobek oleh tradisi penindasan, oleh tradisi kebodohan, oleh tradisi keserakahan yang tidak habis-habis.
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore.Harus kita jahit kembali, harus kita benahi lagi, harus kita utuhkan kembali agar supaya kita siap untuk menghadap ke masa depan.
Memang kita sudah lir-ilir, sudah ngliler, sudah terbangun dari tidur.
Sudah bangun, sudah bangkit sesudah tidur terlalu nyenyak selama 30 tahun atau mungkin lebih lama dari itu.
Kita memang sudah bangkit, beribu-ribu kaum muda berjuta-juta rakyat sudah bangkit keluar rumah dan memenuhi jalanan, membanjiri sejarah dengan semangat menguak kemerdekaan yang terlalu lama diidamkan.
Akan tetapi mungkin terlalu lama kita tidak merdeka sekarang Kita tidak begitu mengerti bagaimana mengerjakan kemerdekaan, sehingga tidak paham beda antara demokrasi dan anarki.
Terlalu lama kita tidak boleh berpikir, lantas sekarang hasil pikiran kita keliru-keliru, sehingga tidak sanggup membedakan mana asap mana api, mana emas mana loyang, mana nasi dan mana tinja.
Terlalu lama kita hidup di dalam ketidak menentuan nilai, lantas sekarang semakin kabur pandangan kita atas nilai-nilai yang berlaku di dalam diri kita sendiri.
Sehingga yang kita jadikan pedoman kebenaran hanyalah kemauan kita sendiri, nafsu kita sendiri, kepentingan kita sendiri.
Terlalu lama kita hidup dalam kegelapan sehingga kita tidak mengerti bagaimana melayani cahaya, sehingga kita tidak becus mengursi bagaimana cahaya terang, sehingga di dalam kegelapan gerhana rembulan yang membikin kita buntu sekarang.
Kita junjung-junjung penghianat dan kita buang-buang para pahlawan.
Kita bela kelicikan dan kita curigai ketulusan. Satu tembang tidak selesai ditafsirkan dengan seribu jilid buku. Satu lantunan syair tidak selesai ditafsirkan dengan waktu seribu bulan dan seribu orang melakukannya. Aku ingin mengajakmu untuk berkeliling, untuk memandang warna-warni yang bermacam-macam dengan membiarkan mereka dengan warnanya masing-masing.
Agar kita mengerti dengan hati dan ketulusan kita, apa muatan kalbu mereka mengenai ilir-ilir, mengenai ijo royo-royo, mengenai temanten anyar, mengenai bocah angon dan belimbing, mengenai mbasuh dodot iro, mengenai kumiter bedah ing pinggir, yang akan kita bicarakan tentu saja kapan saja bersama-sama.
Tapi aku ingin mengajakmu untuk mendengarkan, siapa saja diantara saudara-saudara kita tanpa perlu kita larang-larang untuk menjadi ini atau untuk menjadi itu asalkan kita bersepakat bahwa bersama-sama mereka semua kita akan menyumbangkan yang terbaik bagi semuanya bukan hanya bagi ini atau itu, bukan hanya bagi yang disini atau yang disana.
Sumber : http://t.co/jPrGsdIR4u