Gasud.com, Kaum cerdik Cendikia, mereka adalah kelas ‘elite intelektual’ pada masanya. Seperti telah lazim kita ketahui mereka adalah orang-orang cerdas dan ‘pioneer peradaban’ sebuah bangsa. Kita mengenal Mpu Tantular dan Mpu lain di zaman majapahit --dengan kitab Sotasoma dan Negara-kertagama--, beberapa diantara wali songo di zaman Demak Bintoro, Pajang sampai Mataram Islam atau Raden Ngabehi Ronggo Warsito Kasultanan Surakarta. Ada yang unik bagi kalangan kelas terdidik ini. Mereka selalu menjadi bagian dari keluarga kerajaan, dan tidak aneh kemudian muncul sebutan bagi kaum terdidik ini sebagai ‘intelektual Istana’. Ini dapat dipahami, mengapa? tidak pernah muncul intelektual dari kalangan rakyat jelata. Yang muncul sebagai wakil rakyat jelata dalam cerita-cerita hanya para pendekar seperti Jaka Tarub. Hampir – hampir tidak ada yang bisa menolak dalam sejarah kita, kaum terdidik dan intelektual merupakan milik sekitar istana. Pendidikan hanya milik elite, kaum terdidik pun dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan penguasa. Ini satu dimensi. Pada dimensi lain, ajaran-ajaran para Mpu, Resi dan intelektual istana yang lain inilah yang mempunyai kekuatan otoritatif. Maksudnya jadi semacam ‘kurikulum baku’, yang harus di lakukan dalam praktik sosial kekuasaan maupun bagi mereka rakyat jelata. Benarkah para intelektual ini tak berpihak (netral) sama sekali? Jelas tidak mungkin. Setiap hari mereka kerja, makan, fasilitas lain di sediakan juragan. Tentu mereka harus nderek juragan, bila tidak ingin di pecat. Dan hampir tidak ada kaum terdidik/produk pendidikan ala-kerajaan menghasilkan perombak tatanan sosial, kecuali tidak lebih menjadi penakhluk atau hanya berebut kekuasaan. Selain menjadi babu yang nderek juragan. Dan dapat dipastikan merekalah penindas rakyat yang kelas sosial nya lebih rendah, memperbudak kaum sudra (para petani, buruh) dan rakyat jelata yang lain. Pesantren/padepokan (baik bidang militer, sastra, atau tabib/kedokteran) di zaman ini hampir dipastikan berada di sekitar pusat-pusat kekuasaan.[i] Dan para alumni dari pendidikan pada zaman ini, tentu akan menjadi punggawa kerajaan. Terkecuali mereka yang kalah oleh konspirasi politik di Istana, mereka kemudian membuat pusat-pusat kekuasaan baru yang aman, beserta institusi pendidikannya (padepokan/pesantren). Inilah yang menjadi cikal bakal pesantren yang ada sekarang, yang dulunya didirikan oleh para wali. Alumninya kemudian menyebar, dan membuat ruang-ruang pendidikan baru yang relatif terpisah dari kekuasaan, bahkan seringkali menjadi penantang kekuasaan dominan. Atau mereka yang kemudian mengembangkan pikiran-pikiran asketik, yang lari dari hiruk pikuk duniawi.
Masa itu kemudian di lanjutkan oleh era kolonialisme. Bahkan, hampir-hampir produk kejayaan (yang positif) masa-masa kerajaan telah di hancurkan oleh penjajah. Di kalangan istana yang tersisa hanya keangkuhan para Adipati/Bupati yang menjadi anthek Belanda. Sedangkan kelompok kelas terdidik Istana, yang cenderung tidak suka oleh prilaku birokrat istana anthek Belanda, menyingkir dan membuat peradaban baru, dengan merintis pesantren-pesantren baru.
Tiga abad pertama penjajahan, belanda
hampir-hampir tidak mau tahu terhadap pengembangan kehidupan bangsa secara
umum. Mereka hanya berusaha supaya sumberdaya alam di negeri ini dapat dikuras
sebanyak-banyaknya dan di bawa ke negeri-nya. Ada dua jenis pendidikan yang ada
waktu itu, pendidikan modern ala barat, untuk anak-anak Eropa. Pribumi sama
sekali tidak ada yang mendapatkan fasilitas ini. Sedangkan pendidikan pribumi
terkonsentrasi di Pesantren, yang banyak mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan dan
kedigdayaan. Hampir dapat dipastikan pusat-pusat perlawanan terhadap penjajah
masa itu terpusat di pesantren, seperti Tegalrejo, tempat Diponegoro. Setelah
semua perlawanan dapat di-takhlukkan pada saat yang sama pula para pelarian
perang menyebar keseluruh pedalaman Jawa ini.
Sementara
itu di akhir abad XIX (atau akhir 1800-an) terjadi perubahan politik dinegeri
Belanda. Kalangan liberal yang didominasi para penguasaha menguasai
pemerintahan Belanda. Kemudian munculah sebuah kebijakan yang di sebut dengan
Politik Balas Budi atau lazim di sebut Politik Etis (Etische Politics).
Kebijakan ini, disebut para elite negeri Belanda sebagai upaya, membalas budi
baik bangsa Hindia (Indonesia), atas kekayaan yang diberikan terhadap Belanda.
Isi dari politik ini ada tiga hal: Edukasi (pendidikan), Irigasi (pengairan)
dan Migrasi (perpindahan penduduk) semua di peruntukkan untuk pribumi. Kebijakan ini tak lain, adalah akibat semakin melemahnya dominasi birokrasi belanda di bawah para pengusaha (pemilik modal) Belanda. Dan dapat dipastikan, kebijakan ini tak lain adalah demi kepentingan mereka, kaum pemilik modal Belanda. Sebagai contoh di bidang pendidikan, sekolah-sekolah yang di dirikan di orientasikan hanya mencetak kaum pribumi yang melek baca tulis, dan dapat di pekerjakan di perusahaan dan perkebunan Hindia Belanda. Dan inipun hanya dapat dinikmati segelintir anak-anak priyayi pribumi, para wedono dan bupati ke atas.
Selain itu terdapat kebijakan kependudukan yang membagi warga bangsa ini menjadi beberapa kelas. Kelas tertinggi adalah Belanda dan eropa, kelas kedua adalah untuk Cina, Aarab dan bangsa timur lain dan kelas terendah yakni untuk kaum pribumi. Karena itu muncullah sekolah khusus untuk kaum Eropa di tingkat menengah (yakni HBS, dan ELS)[ii]. Ada juga sekolah China, dan terakhir sekolah untuk pribumi yang lazim disebut sekolah Ongko Loro (ongko 2). Inilah yang menjadi cikal bakal sentimen etnis yang sampai kini masih terekam kuat dikepala kita.[iii] Satu-satunya perguruan tinggi yang diperuntukkan bagi pribumi hanyalah Sekolah Dokter (Stovia), dan Teknik (THS Bandung-sekarang ITB) dan Sekolah Hukum di Bandung. Memang dari sekolah-sekolah ini lahir para pembaharu, dan pejuang pergerakan. Tapi mayoritas lulusannya, memang di peruntukkan dan dipekerjakan demi kepentingan perusahaan hindia Belanda dan kelas berpunya. Hal ini tentu tidak bisa di pisahkan dari paham, pola dan orientasi liberalis, dengan politik etisnya, yakni untuk mencetak ‘kaum pekerja profesional’ para ‘kuli berdasi’ . Kelas sosial ini kemudian melahirkan para birokrat, pengusaha yang watak dan karakternya di wariskan kepada profesional dan birokrat masa kini. Merasa lebih terhormat dari warga lain, suka menjilat pantat atasan, suka dilayani, sok kuasa dan sederet sikap lainnyaSementara pada masa ini ormas-ormas berdiri bak jamur, berlomba mendirikan sekolah dengan model clasical ini seperti Taman Siswa, Muhammadiyah. Dan relatif hanya NU yang tetap setia pada sistem pendidikan ‘ala pesantren. Jadi jangan heran, anda yang pernah mondok di pesantren selalu akan di olok-olok jorok, kolot, kampungan, sarungan, bakiak-an, stereotype kelompok tradisional yang vis a vis kebudayaan modern. Karena memang pesantren-lah pendidikan alternatif, diluar pola pendidikan yang diterapkan kaum kolonial. Yang tidak mencetak para calon ‘kuli-berdasi dan profesional gaya penjajah belanda’. Hanya saja memang pesantren belum mampu beranjak dari feodalisme gaya kerajaan, wajar pesantren kemudian mirip dengan kerajaan kecil.
Masa
kini, tidak lain adalah detik lanjut dari masa
lalu. Gaya, konstruksi alam sadar kita merupakan warisan masa lalu. Orde
Lama, Orde Baru dan kini Orde Reformasi hanya sekedar nama era politis, hampir
– hampir tanpa perubahan mental berarti, termasuk pada diri kita kelas
terdidik. Itulah kita
Globalisasi: Membaca Kemungkinan
Globalisasi
yang hampir tidak lain adalah proses hilangnya batas-batas geografis akibat
perkembangan tekhnologi informasi, transportasi dan komunikasi. Namun tidak
bisa dikatakan bahwa globalisasi adalah kebutuhan alamiah (natural)
manusia, atau sebentuk keniscayaan. Globalisasi bagaimanapun hanya akan
menguntungkan mereka yang menguasai tiga pilar diatas. Dan dapat dipastikan
akibat proses ini adalah proses marginalisasi (peminggiran) individu, komunitas
masyarakat atau bahkan suatu bangsa akibat mereka tidak menguasai pilar inti
globalisasi.
Lewat
hegemoni globalisasi, tersebut banyak orang menderita amnesia kolektif, mereka
lupa akan dosa-dosa kapitalisme sebagai cikal bakal globalisasi. Kapitalisme
mutakhir bukan saja telah menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan (seperti
proteksi, subsidi) di tingkat nasional untuk melempangkan jalan kapital.
Kapitalisme muthakir juga menghilangkan batas-batas etis maupun ekologis pada
perdagangan. Ketika segala sesuatu bisa di perdagangkan, maka apapun-baik itu
seni budaya, sel, gen, tumbuhan, benih, pengetahuan, air, bahkan polusipun-bisa
di perjual belikan. Dan tidak disadari hampir semua negeri di bumi mau tidak
mau terjebak dalam kondisi semacam ini.
Sebuah
keniscayaan, mereka yang dijauhi instrumen globalisasi akan mendapatkan
kenyataan bahwa dirinya semakin berjarak dengan akses sosial ekonomi global.
Dalam konteks seperti inilah segala bentuk marginalisasi muncul. Petani Gunung
Kidul tetaplah miskin, walaupun produk singkongnya telah mendunia melalui
industri makanan instan seperti Indofood, anjloknya saham perusahaan sepatu
Nike di bursa saham Wallstreet langsung berdampak pada PHK ribuan orang di
Majalengka. Begitu juga banyaknya Buruh Migran (TKI) dari Ponorogo. Globalisasi adalah jargon, sekaligus
kenyataan yang sedang menjadi. Ada yang menjadi kaya raya, sementara yang lain
miskin papa.
Dalam kondisi seperti itu, mahasiswa dan kaum
cerdik cendikia tentu harus sadar diri akan tugas dan keberpihakannya. Sebagai
intelektual kelas menengah, yang mengkoleksi segudang teori tentu tidak membuat
kita berdiri diatas menara gading peradaban. Antonio Gramsci, menegaskan
sebuah konsep tugas dan tanggung jawab kaum terdidik, yakni : intelektual
Organik. Keilmuannya dibangun dari basis persoalan yang dihadapi kaum
marginal disekitar mereka, hidup dan menyerahkan hari-harinya mengangani
problem kaum marginal, sementara mereka tetaplah seorang intelektual dengan
segudang ilmu. Bila sorang filsuf tentu bukan sekedar penafsir dunia tetapi
mampu melakukan tugas perubahan atas dunia.
[i] Abdul Hadi WM, Islam Cakrawala Estetik dan Budaya,
Jakarta: Pustaka Firdaus:2000, hal 100
[ii] E : Europe, H: Holland, sekolah dasar dan menengah
zaman Hindia Belanda membeda-bedakan berdasarkan kewarga-negaraan (misalnya:
Sekolah rakjat untuk Pribumi, HIS dan ELS untuk keturunan Eropa) begitu juga
bagi warga keturunan China (lih. Pramudya Ananta Toer, Novel “ Jejak
Langkah”, Jakarta: Hasta Mitra, 2003, hal. 46
[iii] Bahwa mereka (Eropa, China, Arab) kita anggap lebih
superior, dan lebih segalanya. Konflik berdarah tahun 1744, 1924, 1998 terhadap
etnis China adalah contohnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
>>> Please do not use anonymous ....
>>> Berikan data anda dengan benar.....
>>> Berikan komentar anda sebagai bukti bahwa anda adalah pengunjung dan bukan robot......
>>> Komentar ANONIM tidak akan ditanggapai oleh admin......
>>> Sorry, Admin will not respond to anonymous comments are not clear. so thank you