Gasud.com, Aswaja Dan NKRI - Negara Indonesia, kita tahu, berbentuk republik dan berasaskan Pancasila. Bukan negara Islam yang berlandaskan syari’ah. Lantas, apa dasar syar’inya bahwa umat Islam di negeri ini mesti loyal terhadapnya? Mengapa mereka mesti ta’at terhadap konstitusi NKRI?
Pertanyaan di atas menjadi relevan buat kita, mengingat akhir-akhir ini muncul dua macam gejala yang muaranya memposisikan NKRI seakan nasibnya sedang di ujung tanduk. Gejala pertama adalah maraknya kekerasan dan diskrimnasi terhadap minoritas atas nama Islam. Yang kedua, adanya sebagian kalangan Islam yang memvonis NKRI sebagai kafir dan thoghut, dan wajib diganti dengan negara syari’ah.
Untuk mengurai pokok masalahnya, ijinkan saya mengutip Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam artikelnya “NU dan Negara Islam,” Gus Dur menolak ide negara Islam karena hal itu memberangus heterogenitas Indonesia. Ia juga memaparkan bahwa sikap NU yang menerima keabsahan NKRI bersandar pada keputusan Muktamar NU tahun1935 di Banjarmasin bahwa kawasan Hindia Belanda wajib dipertahankan secara agama. Alasannya: kaum muslim bisa bebas menjalankan ajaran Islam. Selain itu, di kawasan itu dahulu sudah ada Kerajaan Islam. Atas dasar itulah NU menyatakan komitmennya kepada republik kita, yang berdasarkan Pancasila dan bukan Islam. Ini ditunjukkan, misalnya, dengan Resolusi Jihad mempertahankan republik yang dikeluarkan PBNU pada 22 Oktober 1945. Yang menarik, muktamar NU 1935 tidak langsung mencap Hindia Belanda sebagai kawasan kafir (darul kufr) hanya karena ayat: “Barang siapa tidak berhukum dengan aturan yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir” Rupanya ulama NU menyadari bahwa status hukum segala sesuatu tidak bisa ditentukan hanya dengan semata-mata memetik teks agama (nash) begitu saja. Konteks (al-waqi’) juga mesti diperhitungkan.
Kesadaran tentang konteks inilah yang mesti kita perhitungkan untuk menilai status hukum NKRI dari sudut pandang syari’ah, dan kenapa umat Islam wajib loyal kepadanya. Ini berrarti, kita mesti tahu dulu apa sejatinya makna kata “republik” yang dilekatkan pada “Indonesia.” Sederhananya, republik adalah tatanan politik di mana negara menjadi urusan publik (res publica). Publik di sini menjadi sumber legitimasi politik, tapi sekaligus menjadi tujuannya. Karena itu, sistem republik seringkali dilawankan dengan monarki yang berbasis kekuasaan personal sang raja. Juga dipertantangkan juga dengan negara jajahan yang berbasis pada kuasa kolonial. Dalam artinya yang mendasar, republik adalah sistem yang menjamin setiap warga negara terbebas dari dominasi, yang tak lain adalah kekuasaan sewenang-wenang dari pihak luar diri sang warga tadi, entah itu dominasi dari individu yang lain, negara atau kelompok masyarakat.
Dengan demikian, pemerintahan republik, mengutip Muhammad Hatta dalam traktatnya Ke Arah Indonesia Merdeka (1932), “senantiasa takluk dengan kemauan rakyat.” Artinya, aturan yang mengatur rakyat ditentukan sendiri oleh mereka. Dalam republik, yang berlaku adalah kedaulatan rakyat, yang didefinisikan oleh Hatta begini: “Rakyat itu daulat alias raja bagi dirinya sendiri. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil saja yang memutuskan nasib bangsa, melainkan rakyat sendiri. “ Dengan kata lain, inti dari republik adalah kemauan rakyat yang berkehendak untuk bebas dari dominasi apapun. Artinya, pemerintahan yang memimpin mereka dan hukum yang mengatur mereka mesti berdasar pada persetujuan, kesepakatan atau perjanjian di antara mereka sendiri. Secara kelembagaan, hal ini diwujukan melalui demokrasi, di mana rakyat memerintah dirinya sendiri (self-rule). Dan perjanjian yang berlangsung antara pihak muslim dan non muslim untuk menentang kekeuasaan yang sewenang-wenang berifat mengikat, sebagaimana kontrak antara pihak muslim dengan muslim lain. Berdasarkan paparan di atas, anggapan bahwa NKRI adalah sistem kafir yang haram untuk ditaati dengan telak bisa dirontokkan berdasar argumen berikut:
Pertama, sebagaimana dinyatakan Gus Dur dalam artikelnya, NKRI memang bukan negara Islam. Akan tetapi tidak berarti bahwa hukum Islam tidak ditegakkan di situ. Buktinya masyarakat muslim bisa dengan bebas menjalankan ajaran Islam tanpa melalui tangan negara. Mengutip Gus Dur, “mendirikan negara Islam tidak wajib bagi kaum muslimin, tapi mendirikan masyarakat yang berpegang pada ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib.” Dengan kata lain, dalam kerangka sistem republik, kaum muslim tetap mendapatkan keleluasaan untuk menerapkan syari’ah. Namun, penerapannya berlangsung secara sukarela dan atas kesadaran sendiri, bukan melalui paksaan dari negara. Ini tentunya sejalan dengan prinsip republik yang anti terhadap dominasi dalam berbagai bentuknya.
Kedua, tuduhan bahwa NKRI identik dengan kekafiran mencerminkan kegagalan memahami hakekat tatanan republik, yakni sebagai negara perjanjian atau kesepakatan antar pelbagai elemen bangsa demi melawan dominasi dalam berbagai bentuknya. Pada titik ini, ada baiknya saya kutipkan keputusan Tanwir Muhammadiyah tentang NKRI pada Juni lalu di Bandung. Menurut Muhammadiyah, Indonesia yang berdasar Pancasila merupakan negara perjanjian atau kesepakatan (Darul ‘Ahdi), negara kesaksian atau pembuktian (Darus Syahadah), dan negara yang aman dan damai (Darussalam).
Keputusan Tanwir tersebut diperkuat dengan pernyataan Din Syamsuddin bahwa komitmen terhadap Pancasila adalah manifestasi komitmen untuk menepati janji, sesuatu yang diperintahkan dalam Islam. Pendapat ketua PP Muhammadiyah ini layak untuk dicatat karena sejumlah ayat dalam Al-Qur’an memang memerintahkan kaum muslim untuk mematuhi kontrak (‘ahd, mitsaq, atau ‘aqd) yang telah mereka sepakati. Simaklah misalnya QS: 2:177, 16:91, dan 17:34. Ketentuan ini tentu saja bukan hanya berlaku pada wilayah ekonomi semata, melainkan juga politik. Ketiga, taruhlah benar bahwa NKRI adalah negara kafir. Lalu Apa konsekuensinya bagi warga negara Indonesia yang muslim? Di Indonesia, kaum muslim mendapatkan jaminan keamanan penuh serta bebas menjalankan agamnya. Ini berarti, NKRI bukanlah Darul Harbi yang mesti diubah menjadi Darul Islam. Dari sudut pandang hukum Islam, orang Islam yang tinggal dan menjadi warga negara di negara kafir yang tidak memerangi umat Islam (non-harbi) sesungguhya terikat kontrak dengan negara tersebut. Dan patut diingat, kontrak dengan pihak non muslim punya kekuatan mengikat juga. Dengan begitu, jika ia melanggar konstitusi negara tersebut, apalagi berupaya menggantinya dengan yang lain, maka ia sesunggunya menjadi pengkhianat kontrak.
Ibnu Qudamah, ulama dari mazhab Hanbali, menulis dalam Al Mughni: “Muslim yang tinggal di negara kaum kafir dalam keadaan aman haruslah mematuhi kontraknya terhadap negara tersebut, karena mereka memberikan jaminan keamanan semata-mata karena adanya kontrak bahwa si muslim tidak akan berkhianat. Ketahuilah, pengkhianatan terhadap kontrak (ghadr) adalah tindakan yang dilarang dalam Islam. Nabi bersabda: “Al muslimun ‘inda syuruthihim“: kaum Muslim terikat dengan perjanjian yang telah mereka sepakati.” Senada dengan pendapat Ibnu Qudamah, Imam Al-Sarakhsi, ulama penganut mazhab Hanafi, menyatakan dalam Kitab Al Mabsuth: “Sunnguh tercela bagi seorang muslim yang memohon keamanan dari (negara kafir) berdasarkan perjanjian, tapi lalu menngkhianatinya. Rasul berkata: “Sesiapa mengkhianati suatu kesepakatan, maka pada hari kiamat nanti anusnya akan ditancapi bendera sehingga perbuatan khianatnya akan ketahuan secara terbuka.” Hadits di atas kiranya cukup untuk menegaskan bahwa orang Islam yang menjadi warga negara Indonesia wajib mematuhi kesepakatan mereka terhadap republik. Kewajiban ini tetap berlaku bahkan bagi mereka yang menganggap NKRI sebagai sistem kafir, tapi pada saat yang sama tak juga melepaskan kewarganegaraannya. Padahal NKRI bukanlah negara kafir. Kaum muslim tentunya dituntut untuk dengan sepenuh hati memenuhi kesepakatan mereka dengan republik.
Mungkin karena tahu akan kerasnya kecaman Nabi terhadap pengkhianatan terhadap suatu kesepakatan (ghadr), maka Gus Dur tak henti-hentinya menyerukan kaum muslim Indonesia untuk memegang teguh komitmen mereka terhadap NKRI.
Di kutip dari tulisannya Ahmad Sahal
Pertanyaan di atas menjadi relevan buat kita, mengingat akhir-akhir ini muncul dua macam gejala yang muaranya memposisikan NKRI seakan nasibnya sedang di ujung tanduk. Gejala pertama adalah maraknya kekerasan dan diskrimnasi terhadap minoritas atas nama Islam. Yang kedua, adanya sebagian kalangan Islam yang memvonis NKRI sebagai kafir dan thoghut, dan wajib diganti dengan negara syari’ah.
Untuk mengurai pokok masalahnya, ijinkan saya mengutip Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam artikelnya “NU dan Negara Islam,” Gus Dur menolak ide negara Islam karena hal itu memberangus heterogenitas Indonesia. Ia juga memaparkan bahwa sikap NU yang menerima keabsahan NKRI bersandar pada keputusan Muktamar NU tahun1935 di Banjarmasin bahwa kawasan Hindia Belanda wajib dipertahankan secara agama. Alasannya: kaum muslim bisa bebas menjalankan ajaran Islam. Selain itu, di kawasan itu dahulu sudah ada Kerajaan Islam. Atas dasar itulah NU menyatakan komitmennya kepada republik kita, yang berdasarkan Pancasila dan bukan Islam. Ini ditunjukkan, misalnya, dengan Resolusi Jihad mempertahankan republik yang dikeluarkan PBNU pada 22 Oktober 1945. Yang menarik, muktamar NU 1935 tidak langsung mencap Hindia Belanda sebagai kawasan kafir (darul kufr) hanya karena ayat: “Barang siapa tidak berhukum dengan aturan yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir” Rupanya ulama NU menyadari bahwa status hukum segala sesuatu tidak bisa ditentukan hanya dengan semata-mata memetik teks agama (nash) begitu saja. Konteks (al-waqi’) juga mesti diperhitungkan.
Kesadaran tentang konteks inilah yang mesti kita perhitungkan untuk menilai status hukum NKRI dari sudut pandang syari’ah, dan kenapa umat Islam wajib loyal kepadanya. Ini berrarti, kita mesti tahu dulu apa sejatinya makna kata “republik” yang dilekatkan pada “Indonesia.” Sederhananya, republik adalah tatanan politik di mana negara menjadi urusan publik (res publica). Publik di sini menjadi sumber legitimasi politik, tapi sekaligus menjadi tujuannya. Karena itu, sistem republik seringkali dilawankan dengan monarki yang berbasis kekuasaan personal sang raja. Juga dipertantangkan juga dengan negara jajahan yang berbasis pada kuasa kolonial. Dalam artinya yang mendasar, republik adalah sistem yang menjamin setiap warga negara terbebas dari dominasi, yang tak lain adalah kekuasaan sewenang-wenang dari pihak luar diri sang warga tadi, entah itu dominasi dari individu yang lain, negara atau kelompok masyarakat.
Dengan demikian, pemerintahan republik, mengutip Muhammad Hatta dalam traktatnya Ke Arah Indonesia Merdeka (1932), “senantiasa takluk dengan kemauan rakyat.” Artinya, aturan yang mengatur rakyat ditentukan sendiri oleh mereka. Dalam republik, yang berlaku adalah kedaulatan rakyat, yang didefinisikan oleh Hatta begini: “Rakyat itu daulat alias raja bagi dirinya sendiri. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil saja yang memutuskan nasib bangsa, melainkan rakyat sendiri. “ Dengan kata lain, inti dari republik adalah kemauan rakyat yang berkehendak untuk bebas dari dominasi apapun. Artinya, pemerintahan yang memimpin mereka dan hukum yang mengatur mereka mesti berdasar pada persetujuan, kesepakatan atau perjanjian di antara mereka sendiri. Secara kelembagaan, hal ini diwujukan melalui demokrasi, di mana rakyat memerintah dirinya sendiri (self-rule). Dan perjanjian yang berlangsung antara pihak muslim dan non muslim untuk menentang kekeuasaan yang sewenang-wenang berifat mengikat, sebagaimana kontrak antara pihak muslim dengan muslim lain. Berdasarkan paparan di atas, anggapan bahwa NKRI adalah sistem kafir yang haram untuk ditaati dengan telak bisa dirontokkan berdasar argumen berikut:
Pertama, sebagaimana dinyatakan Gus Dur dalam artikelnya, NKRI memang bukan negara Islam. Akan tetapi tidak berarti bahwa hukum Islam tidak ditegakkan di situ. Buktinya masyarakat muslim bisa dengan bebas menjalankan ajaran Islam tanpa melalui tangan negara. Mengutip Gus Dur, “mendirikan negara Islam tidak wajib bagi kaum muslimin, tapi mendirikan masyarakat yang berpegang pada ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib.” Dengan kata lain, dalam kerangka sistem republik, kaum muslim tetap mendapatkan keleluasaan untuk menerapkan syari’ah. Namun, penerapannya berlangsung secara sukarela dan atas kesadaran sendiri, bukan melalui paksaan dari negara. Ini tentunya sejalan dengan prinsip republik yang anti terhadap dominasi dalam berbagai bentuknya.
Kedua, tuduhan bahwa NKRI identik dengan kekafiran mencerminkan kegagalan memahami hakekat tatanan republik, yakni sebagai negara perjanjian atau kesepakatan antar pelbagai elemen bangsa demi melawan dominasi dalam berbagai bentuknya. Pada titik ini, ada baiknya saya kutipkan keputusan Tanwir Muhammadiyah tentang NKRI pada Juni lalu di Bandung. Menurut Muhammadiyah, Indonesia yang berdasar Pancasila merupakan negara perjanjian atau kesepakatan (Darul ‘Ahdi), negara kesaksian atau pembuktian (Darus Syahadah), dan negara yang aman dan damai (Darussalam).
Keputusan Tanwir tersebut diperkuat dengan pernyataan Din Syamsuddin bahwa komitmen terhadap Pancasila adalah manifestasi komitmen untuk menepati janji, sesuatu yang diperintahkan dalam Islam. Pendapat ketua PP Muhammadiyah ini layak untuk dicatat karena sejumlah ayat dalam Al-Qur’an memang memerintahkan kaum muslim untuk mematuhi kontrak (‘ahd, mitsaq, atau ‘aqd) yang telah mereka sepakati. Simaklah misalnya QS: 2:177, 16:91, dan 17:34. Ketentuan ini tentu saja bukan hanya berlaku pada wilayah ekonomi semata, melainkan juga politik. Ketiga, taruhlah benar bahwa NKRI adalah negara kafir. Lalu Apa konsekuensinya bagi warga negara Indonesia yang muslim? Di Indonesia, kaum muslim mendapatkan jaminan keamanan penuh serta bebas menjalankan agamnya. Ini berarti, NKRI bukanlah Darul Harbi yang mesti diubah menjadi Darul Islam. Dari sudut pandang hukum Islam, orang Islam yang tinggal dan menjadi warga negara di negara kafir yang tidak memerangi umat Islam (non-harbi) sesungguhya terikat kontrak dengan negara tersebut. Dan patut diingat, kontrak dengan pihak non muslim punya kekuatan mengikat juga. Dengan begitu, jika ia melanggar konstitusi negara tersebut, apalagi berupaya menggantinya dengan yang lain, maka ia sesunggunya menjadi pengkhianat kontrak.
Ibnu Qudamah, ulama dari mazhab Hanbali, menulis dalam Al Mughni: “Muslim yang tinggal di negara kaum kafir dalam keadaan aman haruslah mematuhi kontraknya terhadap negara tersebut, karena mereka memberikan jaminan keamanan semata-mata karena adanya kontrak bahwa si muslim tidak akan berkhianat. Ketahuilah, pengkhianatan terhadap kontrak (ghadr) adalah tindakan yang dilarang dalam Islam. Nabi bersabda: “Al muslimun ‘inda syuruthihim“: kaum Muslim terikat dengan perjanjian yang telah mereka sepakati.” Senada dengan pendapat Ibnu Qudamah, Imam Al-Sarakhsi, ulama penganut mazhab Hanafi, menyatakan dalam Kitab Al Mabsuth: “Sunnguh tercela bagi seorang muslim yang memohon keamanan dari (negara kafir) berdasarkan perjanjian, tapi lalu menngkhianatinya. Rasul berkata: “Sesiapa mengkhianati suatu kesepakatan, maka pada hari kiamat nanti anusnya akan ditancapi bendera sehingga perbuatan khianatnya akan ketahuan secara terbuka.” Hadits di atas kiranya cukup untuk menegaskan bahwa orang Islam yang menjadi warga negara Indonesia wajib mematuhi kesepakatan mereka terhadap republik. Kewajiban ini tetap berlaku bahkan bagi mereka yang menganggap NKRI sebagai sistem kafir, tapi pada saat yang sama tak juga melepaskan kewarganegaraannya. Padahal NKRI bukanlah negara kafir. Kaum muslim tentunya dituntut untuk dengan sepenuh hati memenuhi kesepakatan mereka dengan republik.
Mungkin karena tahu akan kerasnya kecaman Nabi terhadap pengkhianatan terhadap suatu kesepakatan (ghadr), maka Gus Dur tak henti-hentinya menyerukan kaum muslim Indonesia untuk memegang teguh komitmen mereka terhadap NKRI.
Di kutip dari tulisannya Ahmad Sahal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
>>> Please do not use anonymous ....
>>> Berikan data anda dengan benar.....
>>> Berikan komentar anda sebagai bukti bahwa anda adalah pengunjung dan bukan robot......
>>> Komentar ANONIM tidak akan ditanggapai oleh admin......
>>> Sorry, Admin will not respond to anonymous comments are not clear. so thank you