Wengker.com, Cerpen - Cangkir kecil berwarna putih tulang bermotif mawar merekah adalah wadah yang dianggap pantas untuk menampung seduhan kopi hitam beraroma masa depan. Kopi itu pula yang menjadi teman setia para aktivis dari berbagai ruang tuk membahas kapal nusantara yang usianya semakin renta.
Pun, sosok nahkodanya yang sudah berganti hingga tujuh kali dan belum mampu menyandarkan penumpangnya ke pulau bahagia, tak lepas dari ocehan anak-anak muda berambut gondrong di meja pojok kedai Blandongan.
Di sini, janji untuk menyelamatkan anak negeri dari bahaya kekurangan kopi terpatri di gapura. Menyambut kedatangan para pemikir negeri memikirkan nasib bangsanya yang entah ke mana. Rangkaian kata-kata tanpa majas itu menjadi cita-cita mulia untuk melanggengkan tradisi ngopi bagi para penikmatnya. Pun, di tempat ini, kopi telah menjadi simbol pemersatu yang tak terbatas oleh perbedaan ruang dan waktu, termasuk bagi mereka yang pernah berselisih paham karena beda pilihan politik pada pesta demokrasi tahun lalu. Di sini batas itu hilang seketika. Kopi itu pula yang telah berhasil menyatukan aktivis negeri yang beda persepsi tentang semangat membangun bangsa dari berbagai sisi. Termasuk mereka yang terus berdebat dengan bahasa impor dari benua putih yang dahulu tak pernah tersaji.
Tempat ini juga bukan sekadar papan tuk berbagi kisah hidup yang pelik tentang perjalanan negeri, tapi juga tempat untuk memastikan bahwa anak-anak muda masih doyan bersdiskusi. Entah siapa yang mengawali membuat kedai kopi, yang jelas kopi telah menjadi ruh dalam tiap hela napas anak-anak muda hingga para lansia di kota ini, Yogyakarta. Saking saktinya, kopi telah mampu menghapus sekat antara rakyat dan pejabat, hingga kawula dan ningrat.
Aku yang tengah singgah di Bumi Mataram ini pun diajak tuk menikmati seduhan kopi yang katanya lebih nikmat dan lebih sakti dibandingkan kopi dari Barat. Di kota ini pula, kuingin melepas rindu dengan sahabatku yang sangat mencintai kopi. Namanya Putih. Tapi, jika biasanya nama Putih disematkan pada orang yang memiliki kulit tubuh yang terlalu putih, maka tidak untuknya. Putih adalah nama panggilan yang disematkan untuk sahabatku yang sebenarnya bertolak belakang dengan yang sesungguhnya. Aku tak kuasa untuk mengatakannya hitam, tapi aku tak mungkin mengatakannya putih, karena nyatanya ia lebih gelap dari warna coklat tua.
Sebutan “Putih” bukan tanpa alasan. Ia dianggap mewakili kondisi zaman. Hidup di negara yang kaya tapi miskin. Banyak orang pintar tapi bodoh. Punya pemimpin yang tegas tapi lemah. Setia tapi ternyata mampu mendua. Hingga kopi yang seharusnya hitam kini telah berubah menjadi kopi putih. Untuk itu, kami memanggilnya “Putih”. Sebutan ini adalah cara mudah kami menyimpulkan realitas yang tak disadari oleh semua orang. Apalagi bocah-bocah yang hanya berpikir tentang kemapanan diri. Sekilas, panggilan ini terdengar sangat kejam karena disematkan padanya yang tak putih, tapi sebenarnya tidak. Ini menyoal simbol, bukan hinaan atau cacian.
Di kedai kopi ini, ia menghabiskan detik demi detik untuk membahas masalah yang tak jelas ujung pangkalnya. Sambil ditemani dengan bercangkir-cangkir kopi, ia membuka obrolan dengan melepas kata ilmiah yang disadurnya dari benua putih. Katanya bahasa itu mampu mewakili sejuta masalah pelik yang ada di otaknya. Padahal menurutku, masih ada bahasa lain yang bisa mewakili perasaannya. Tapi tak apa, bahasa antah berantah yang ia ucapkan itu juga pilihan yang tak harus kutolak. Obrolan tanpa judul dan sarat dengan bahasa barat pun terlontar dari balik kepulan asap dari rokok yang dihisapnya. Meski tak bisa kupahami semua bahasanya, guratan di keningnya seolah menggambarkan ketidakpercayaan akan masalah yang dihadapi kapal tua bernama Nusantara ini.
“Berapa tetes kopi yang kau teguk setiap hari?” tanyaku pada Putih sambil menghentikan obrolan yang terus keluar dari mulutnya.
“Sebanyak helai rambutku,” jawabnya.
“Apa kau bisa mengitungnya?”
“Menghitung helai rambut dan tegukan kopi sama saja dengan menghitung peliknya masalah negeri. Tak ada habisnya.”
Aku terdiam sambil menatap matanya yang nampak kemerah-merahan. Mungkin karena selalu begadang tiap malam. Atau bisa jadi karena efek dari kopi yang terlalu banyak ia teguk setiap harinya. Tak tahu pasti dan tak bisa kusimpulkan begitu saja. Mungkin bisa jadi karena karena ia sedang marah dengan kapal tua ini yang seolah tak punya arah.
“Dasar orang gila,” candaku.
“Lebih gila lagi mereka yang tak mau berpikir bersama kopi. Ya, mereka yang hanya membaca buku dan ke kampus kemudian menyalahkan zaman.”
“Bagaimana dengan mereka yang menganggap orang sepertimu sebagai orang gila?”
“Ah, itu kan hak mereka karena hidup di negeri yang bebas berbicara. Aku tak peduli orang berkata apa. Aku rela dianggap gila, asal mereka tak memvonis kopinya yang gila. Kau harus tahu, orang yang anarkis dan radikal itu karena kurang kopi. Seharusnya mereka diselamatkan,” ucapnya sambil disusul dengan gelak tawa yang membahana hingga membuat penghuni meja-meja sebelah menoleh semua ke arahnya.
Aku tak tahu pasti apa maksudnya, yang jelas aku ikut tertawa begitu saja. Kemudian, aku pun berpikir, siapa yang dimaksud “mereka” dalam ucapannya. Apa mereka yang tak cinta kopi? Ah, agaknya terlalu rasis menyematkan kata “menyelamatkan” hanya untuk mereka yang tak cinta kopi. Padahal masih banyak yang harus diselamatkan dari sekadar mereka yang tak cinta kopi. Ya, tentu ada petani kopi, penjual kopi dan pengusaha kecil peracik kopi yang terus tergerus oleh produk dari seberang negeri.
****
Hari masih siang. Bahkan teriknya masih terasa panas hingga ke dalam hati. Tapi gerimis tiba-tiba turun dari langit. Mungkin untuk mendinginkan obrolan yang sempat memanas di antara kami. Namun, seolah tak peduli dengan gerimis atau panas, secangkir kopi habis, muncul secangkir kopi yang lain dan begitu seterusnya. Termasuk asap rokok yang mengepul tanpa henti karena terus disambung oleh batang-batang rokok berikutnya. Katanya rokok dan kopi itu untuk menambah inspirasi, karena ia sudah menganggap keduanya sebagai pasangan setia yang tak mungkin terpisah oleh zaman dan lintas generasi. Aku mengamini saja, meski sebenarnya aku terganggu dengan kepulan asap rokok yang padat seperti asap yang keluar dari knalpot motor zaman dulu.
“Apa sampean pernah melihat orang yang mencaci maki sambil menikmati kopi?” tanyanya padaku.
“Belum.”
“Apa kau pernah melihat orang berbuat jahat sambil minum kopi?”
“Belum.”
“Mungkin tidak akan kau lihat kejadian seperti itu, karena kopi itu membawa kedamaian. Meskipun warnanya tak putih. Bahkan masalah besar yang beku di meja hijau bisa mencair di meja kantor. Asal ada kopi.”
Aku termenung. Apasemudah itu masalah bisa diselesaikan? Tapi, ada benarnya juga. Bagi mereka yang mampu membeli kopi, kadang meja hijau pun bisa dirubah menjadi meja coklat atau meja tanpa warna. Tapi tuk mereka yang tak mampu membeli kopi, mengambil ayam tetangga yang harganya tak cukup untuk membeli beras sekarung pun, tak akanbisa lepas dari bui. Ya, seperti yang dialami si Udin tempo lalu. Iaharus merasakan dinginnya jeruji hanya karena mengambil ayam di desa sebelah.
Padahal, ia sempat berdalih kalau anak pejabat yang pernah menabrak orang dan merenggut banyak nyawa pun tak sempat menyentuh dinding sel. Tapi si Udin lupa kalau dia bukan anak pejabat, ia hanya orang kecil yang butuh beras untuk isi perutnya. Hingga alasan apapun yang disampaikannya tak mampu membuatnya lepas dari bui. Belum lagi bonus rasa sakit yang harus diterima karena tangan-tangan besi tak henti-henti menghampiri wajahnya. Selain Udin bukan siapa-siapa, yang jelas karena Udin juga tak mampu membeli kopi untuk melelehkan si tangan besi. Percuma.
Akhirnya tak bisa kusangkal ucapannya. Secangkir kopi bisa menjadi jalan negosiasi sampai menjadi alat penyelamat manusia yang akansegera dieksekusi. Bahkan ia bisa menjadi suguhan bagi para politisi yang sedang membahas tentang arah negeri.
“Jangan hanya melamun. Lamunanmu tak akan merubah keadaan, kecuali membuat kopi yang tadinya panas menjadi dingin,” ucapnya mengganggu lamunanku.
“Aku tahu itu.”
“Lalu, apakah kau sudah paham bahwa kopi ini lebih sakti dari palu di meja pengadilan?”
“Ya. Aku setuju. Kopi ini telah merubah banyak tatanan yang seharusnya berjalan.”
“Tak juga. Jangan menghakimi kopi. Nyatanya iajuga telah menjadi teman setia untuk menata hidup, menuliskan cerita, hingga berhalusinasi tentang masa depan.”
“Tapi karena kopi juga keadilan menjadi semu.”
“Tak juga, sesuatu yang belum adil juga bisa diadili di meja kopi.”
“Baiklah.”
“Mungkin sekali-kali kau perlu ajak orang-orang yang suka mengkafirkan orang lain untuk menikmati kopi. Termasuk orang-orang yang dengan topeng agama meminta kekuasaan. Juga untuk mereka yang dengan mudah menyematkan dirinya sebagai orang-orang yang seolah paling paham tentang agama, hingga tak tahu tentang agama dan budaya. Sampai apa-apa yang bukan berasal dari bangsa Arab dianggap tak sesuai aturan agama.”
“Apa dengan kopi mereka bisa faham?”
“Paling tidak mereka akan tahu bahwa ada kopi, gula dan air yang diseduh dan dituangkan dalam cangkir putih yang tak pernah meminta diri mereka disebutkan satu per satu. Cukup dengan menyebut kata kopi, semua sudah termewakili. Termasuk air, gula dan kopi itu sendiri.”
“Hmmm. Kau benar, banyak yang ikut membangun kapal tua ini dan mereka tak minta diakui jasanya. Cukup dengan namaNusantara, sama artinya dengan menyebut mereka semua.tanpa harus meminta yang lain berada di bawahketiak mereka.”
Semakin lama, obrolan kami semakin tak jelas arahnya. Kami pun segera menutup obrolan, meski sebenarnya masih ingin melepas rindu dan bercengkerama tentang kisah masa lalu. Tapi aku tahu, semuanya tak akan selesai di meja ini, karena masih ada meja lain yang cangkirnya perlu diseduh kopi agar lain bisa merasakan nikmatnya kopi. Satu lagi, dan agar mereka tahu tentang kesadaran gula dan air yang tak pernah disebut dalam seduhan secangkir kopi.
Oleh Slamet Tuharie Ng lahir di Batang, 09 Juni 1990. Saat ini tengah menyelesaikan studi Pascasarjananya di Graduate School Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis juga merupakan Wakil Sekjend PP IPNU (2012-sekarang).
Pun, sosok nahkodanya yang sudah berganti hingga tujuh kali dan belum mampu menyandarkan penumpangnya ke pulau bahagia, tak lepas dari ocehan anak-anak muda berambut gondrong di meja pojok kedai Blandongan.
Di sini, janji untuk menyelamatkan anak negeri dari bahaya kekurangan kopi terpatri di gapura. Menyambut kedatangan para pemikir negeri memikirkan nasib bangsanya yang entah ke mana. Rangkaian kata-kata tanpa majas itu menjadi cita-cita mulia untuk melanggengkan tradisi ngopi bagi para penikmatnya. Pun, di tempat ini, kopi telah menjadi simbol pemersatu yang tak terbatas oleh perbedaan ruang dan waktu, termasuk bagi mereka yang pernah berselisih paham karena beda pilihan politik pada pesta demokrasi tahun lalu. Di sini batas itu hilang seketika. Kopi itu pula yang telah berhasil menyatukan aktivis negeri yang beda persepsi tentang semangat membangun bangsa dari berbagai sisi. Termasuk mereka yang terus berdebat dengan bahasa impor dari benua putih yang dahulu tak pernah tersaji.
Tempat ini juga bukan sekadar papan tuk berbagi kisah hidup yang pelik tentang perjalanan negeri, tapi juga tempat untuk memastikan bahwa anak-anak muda masih doyan bersdiskusi. Entah siapa yang mengawali membuat kedai kopi, yang jelas kopi telah menjadi ruh dalam tiap hela napas anak-anak muda hingga para lansia di kota ini, Yogyakarta. Saking saktinya, kopi telah mampu menghapus sekat antara rakyat dan pejabat, hingga kawula dan ningrat.
Aku yang tengah singgah di Bumi Mataram ini pun diajak tuk menikmati seduhan kopi yang katanya lebih nikmat dan lebih sakti dibandingkan kopi dari Barat. Di kota ini pula, kuingin melepas rindu dengan sahabatku yang sangat mencintai kopi. Namanya Putih. Tapi, jika biasanya nama Putih disematkan pada orang yang memiliki kulit tubuh yang terlalu putih, maka tidak untuknya. Putih adalah nama panggilan yang disematkan untuk sahabatku yang sebenarnya bertolak belakang dengan yang sesungguhnya. Aku tak kuasa untuk mengatakannya hitam, tapi aku tak mungkin mengatakannya putih, karena nyatanya ia lebih gelap dari warna coklat tua.
Sebutan “Putih” bukan tanpa alasan. Ia dianggap mewakili kondisi zaman. Hidup di negara yang kaya tapi miskin. Banyak orang pintar tapi bodoh. Punya pemimpin yang tegas tapi lemah. Setia tapi ternyata mampu mendua. Hingga kopi yang seharusnya hitam kini telah berubah menjadi kopi putih. Untuk itu, kami memanggilnya “Putih”. Sebutan ini adalah cara mudah kami menyimpulkan realitas yang tak disadari oleh semua orang. Apalagi bocah-bocah yang hanya berpikir tentang kemapanan diri. Sekilas, panggilan ini terdengar sangat kejam karena disematkan padanya yang tak putih, tapi sebenarnya tidak. Ini menyoal simbol, bukan hinaan atau cacian.
Di kedai kopi ini, ia menghabiskan detik demi detik untuk membahas masalah yang tak jelas ujung pangkalnya. Sambil ditemani dengan bercangkir-cangkir kopi, ia membuka obrolan dengan melepas kata ilmiah yang disadurnya dari benua putih. Katanya bahasa itu mampu mewakili sejuta masalah pelik yang ada di otaknya. Padahal menurutku, masih ada bahasa lain yang bisa mewakili perasaannya. Tapi tak apa, bahasa antah berantah yang ia ucapkan itu juga pilihan yang tak harus kutolak. Obrolan tanpa judul dan sarat dengan bahasa barat pun terlontar dari balik kepulan asap dari rokok yang dihisapnya. Meski tak bisa kupahami semua bahasanya, guratan di keningnya seolah menggambarkan ketidakpercayaan akan masalah yang dihadapi kapal tua bernama Nusantara ini.
“Berapa tetes kopi yang kau teguk setiap hari?” tanyaku pada Putih sambil menghentikan obrolan yang terus keluar dari mulutnya.
“Sebanyak helai rambutku,” jawabnya.
“Apa kau bisa mengitungnya?”
“Menghitung helai rambut dan tegukan kopi sama saja dengan menghitung peliknya masalah negeri. Tak ada habisnya.”
Aku terdiam sambil menatap matanya yang nampak kemerah-merahan. Mungkin karena selalu begadang tiap malam. Atau bisa jadi karena efek dari kopi yang terlalu banyak ia teguk setiap harinya. Tak tahu pasti dan tak bisa kusimpulkan begitu saja. Mungkin bisa jadi karena karena ia sedang marah dengan kapal tua ini yang seolah tak punya arah.
“Dasar orang gila,” candaku.
“Lebih gila lagi mereka yang tak mau berpikir bersama kopi. Ya, mereka yang hanya membaca buku dan ke kampus kemudian menyalahkan zaman.”
“Bagaimana dengan mereka yang menganggap orang sepertimu sebagai orang gila?”
“Ah, itu kan hak mereka karena hidup di negeri yang bebas berbicara. Aku tak peduli orang berkata apa. Aku rela dianggap gila, asal mereka tak memvonis kopinya yang gila. Kau harus tahu, orang yang anarkis dan radikal itu karena kurang kopi. Seharusnya mereka diselamatkan,” ucapnya sambil disusul dengan gelak tawa yang membahana hingga membuat penghuni meja-meja sebelah menoleh semua ke arahnya.
Aku tak tahu pasti apa maksudnya, yang jelas aku ikut tertawa begitu saja. Kemudian, aku pun berpikir, siapa yang dimaksud “mereka” dalam ucapannya. Apa mereka yang tak cinta kopi? Ah, agaknya terlalu rasis menyematkan kata “menyelamatkan” hanya untuk mereka yang tak cinta kopi. Padahal masih banyak yang harus diselamatkan dari sekadar mereka yang tak cinta kopi. Ya, tentu ada petani kopi, penjual kopi dan pengusaha kecil peracik kopi yang terus tergerus oleh produk dari seberang negeri.
****
Hari masih siang. Bahkan teriknya masih terasa panas hingga ke dalam hati. Tapi gerimis tiba-tiba turun dari langit. Mungkin untuk mendinginkan obrolan yang sempat memanas di antara kami. Namun, seolah tak peduli dengan gerimis atau panas, secangkir kopi habis, muncul secangkir kopi yang lain dan begitu seterusnya. Termasuk asap rokok yang mengepul tanpa henti karena terus disambung oleh batang-batang rokok berikutnya. Katanya rokok dan kopi itu untuk menambah inspirasi, karena ia sudah menganggap keduanya sebagai pasangan setia yang tak mungkin terpisah oleh zaman dan lintas generasi. Aku mengamini saja, meski sebenarnya aku terganggu dengan kepulan asap rokok yang padat seperti asap yang keluar dari knalpot motor zaman dulu.
“Apa sampean pernah melihat orang yang mencaci maki sambil menikmati kopi?” tanyanya padaku.
“Belum.”
“Apa kau pernah melihat orang berbuat jahat sambil minum kopi?”
“Belum.”
“Mungkin tidak akan kau lihat kejadian seperti itu, karena kopi itu membawa kedamaian. Meskipun warnanya tak putih. Bahkan masalah besar yang beku di meja hijau bisa mencair di meja kantor. Asal ada kopi.”
Aku termenung. Apasemudah itu masalah bisa diselesaikan? Tapi, ada benarnya juga. Bagi mereka yang mampu membeli kopi, kadang meja hijau pun bisa dirubah menjadi meja coklat atau meja tanpa warna. Tapi tuk mereka yang tak mampu membeli kopi, mengambil ayam tetangga yang harganya tak cukup untuk membeli beras sekarung pun, tak akanbisa lepas dari bui. Ya, seperti yang dialami si Udin tempo lalu. Iaharus merasakan dinginnya jeruji hanya karena mengambil ayam di desa sebelah.
Padahal, ia sempat berdalih kalau anak pejabat yang pernah menabrak orang dan merenggut banyak nyawa pun tak sempat menyentuh dinding sel. Tapi si Udin lupa kalau dia bukan anak pejabat, ia hanya orang kecil yang butuh beras untuk isi perutnya. Hingga alasan apapun yang disampaikannya tak mampu membuatnya lepas dari bui. Belum lagi bonus rasa sakit yang harus diterima karena tangan-tangan besi tak henti-henti menghampiri wajahnya. Selain Udin bukan siapa-siapa, yang jelas karena Udin juga tak mampu membeli kopi untuk melelehkan si tangan besi. Percuma.
Akhirnya tak bisa kusangkal ucapannya. Secangkir kopi bisa menjadi jalan negosiasi sampai menjadi alat penyelamat manusia yang akansegera dieksekusi. Bahkan ia bisa menjadi suguhan bagi para politisi yang sedang membahas tentang arah negeri.
“Jangan hanya melamun. Lamunanmu tak akan merubah keadaan, kecuali membuat kopi yang tadinya panas menjadi dingin,” ucapnya mengganggu lamunanku.
“Aku tahu itu.”
“Lalu, apakah kau sudah paham bahwa kopi ini lebih sakti dari palu di meja pengadilan?”
“Ya. Aku setuju. Kopi ini telah merubah banyak tatanan yang seharusnya berjalan.”
“Tak juga. Jangan menghakimi kopi. Nyatanya iajuga telah menjadi teman setia untuk menata hidup, menuliskan cerita, hingga berhalusinasi tentang masa depan.”
“Tapi karena kopi juga keadilan menjadi semu.”
“Tak juga, sesuatu yang belum adil juga bisa diadili di meja kopi.”
“Baiklah.”
“Mungkin sekali-kali kau perlu ajak orang-orang yang suka mengkafirkan orang lain untuk menikmati kopi. Termasuk orang-orang yang dengan topeng agama meminta kekuasaan. Juga untuk mereka yang dengan mudah menyematkan dirinya sebagai orang-orang yang seolah paling paham tentang agama, hingga tak tahu tentang agama dan budaya. Sampai apa-apa yang bukan berasal dari bangsa Arab dianggap tak sesuai aturan agama.”
“Apa dengan kopi mereka bisa faham?”
“Paling tidak mereka akan tahu bahwa ada kopi, gula dan air yang diseduh dan dituangkan dalam cangkir putih yang tak pernah meminta diri mereka disebutkan satu per satu. Cukup dengan menyebut kata kopi, semua sudah termewakili. Termasuk air, gula dan kopi itu sendiri.”
“Hmmm. Kau benar, banyak yang ikut membangun kapal tua ini dan mereka tak minta diakui jasanya. Cukup dengan namaNusantara, sama artinya dengan menyebut mereka semua.tanpa harus meminta yang lain berada di bawahketiak mereka.”
Semakin lama, obrolan kami semakin tak jelas arahnya. Kami pun segera menutup obrolan, meski sebenarnya masih ingin melepas rindu dan bercengkerama tentang kisah masa lalu. Tapi aku tahu, semuanya tak akan selesai di meja ini, karena masih ada meja lain yang cangkirnya perlu diseduh kopi agar lain bisa merasakan nikmatnya kopi. Satu lagi, dan agar mereka tahu tentang kesadaran gula dan air yang tak pernah disebut dalam seduhan secangkir kopi.
Oleh Slamet Tuharie Ng lahir di Batang, 09 Juni 1990. Saat ini tengah menyelesaikan studi Pascasarjananya di Graduate School Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis juga merupakan Wakil Sekjend PP IPNU (2012-sekarang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
>>> Please do not use anonymous ....
>>> Berikan data anda dengan benar.....
>>> Berikan komentar anda sebagai bukti bahwa anda adalah pengunjung dan bukan robot......
>>> Komentar ANONIM tidak akan ditanggapai oleh admin......
>>> Sorry, Admin will not respond to anonymous comments are not clear. so thank you