Wengker.com, Warta Nahdliyin - Budayawan Nasional Sujiwo Tejo memiliki kesan tersendiri kepada Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi), sebuah lembaga milik Nahdlatul Ulama. Masa-masa kecilnya di Situbondo, Jawa Timur, sering menonton kesenian-kesenian yang dihelat lembaga itu. “Saya pas kecil, kalau tidak ada Lesbumi, tidak ada hiburan di situbondo,” katanya selepas menghadiri Silaturahim Kebudayaan di gedung PBNU, Jakarta, yang diinisiasi Lesbumi PBNU akhir Juli lalu.
Di Situbondo, kata pria yang terampil menulis esai, melukis, dan menyanyi itu, Lesbumi mengadakan pagelaran ludruk, ketoprak dan kesenian-kesenian lain. “Bikin banyak hal. Di Situbondo itu, kegiatannya, saya waktu SD, kalau enggak ada Lesbumi, ya sepi. Lesbumi bikin ini, bikin itu, saya nonton ketoprak. Itu yang saya selalu saya kenang. Makanya saya kan sekarang ditaruh di Lesbumi juga. Itu peran yang paling konkret yang saya rasakan,” jelasnya.
Seandainya tidak ada Lesbumi, lanjut dalang yang aktif di Twitter itu, Situbondo menjadi daerah sunyi dari kesenian-kesenian juga. “Mereka nanggap wayang juga. Peran yang paling membekas bagi saya itu,” ujar pria yang pernah kuliah di jurusan Fisika dan jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung itu.
Pada Silaturahim Kebudayaan itu, Sujiwo Tejo tampil menyanyikan beberapa lagu. Di sela menyanyi, ia menyebut bahasa Indonesia kurang relijius dalam penggunaan istilah “pencipta” yang disandarkan kepada pengarang lagu. Bagi Presiden Jancuker tersebut, “pencipta” hanya layak disandarakan dan milik Tuhan. Sementara ia lebih setuju komposer. “Prinsipnya bukan pencipta lagu, karena saya Pancasilais, bagi saya pencipta hanya Tuhan,” katanya pada silaturahim bertema “Meneguhkan Kebudayaan, Memperkuat Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Ia mempercayai bahwa lagu-lagu itu sudah diciptakan Tuhan dan bertebaran di alam semesta. Kemudian manusia yang mengambil atau memetiknya. “Manusia yang berkesempatan,” katanya sambil mukanya menengadah ke langit-langit lantai delapan PBNU, sementara tangan kanannya melakukan gerakan seolah-olah memetik sesuatu.
Silaturahim dihadiri seniman Sunda, Gholla Barghawa membuka acara dengan membacakan pantun pembuka diiringi celempung dan karinding. Aktivis dan seniman Lesbumi Sastro Adi menyanyikan "Sapta Wikrama" disusul puisi Abdullah Wong, penampilan Pencak Silat NU Pagar Nusa, dan diakhiri dengan seminar yang diisi Ketua Lesbumi KH Agus Sunyoto, Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Warakawuri TNI/Polri (Pepabri) Agum Gumelar, budayawan KGPH Puger, dan Pemerhati Budaya Harry Tjan Silalahi, serta Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, dan Wakil Rais ‘Aam PBNU KH Miftahul Akhyar. (NU OnlineAbdullah Alawi)
Di Situbondo, kata pria yang terampil menulis esai, melukis, dan menyanyi itu, Lesbumi mengadakan pagelaran ludruk, ketoprak dan kesenian-kesenian lain. “Bikin banyak hal. Di Situbondo itu, kegiatannya, saya waktu SD, kalau enggak ada Lesbumi, ya sepi. Lesbumi bikin ini, bikin itu, saya nonton ketoprak. Itu yang saya selalu saya kenang. Makanya saya kan sekarang ditaruh di Lesbumi juga. Itu peran yang paling konkret yang saya rasakan,” jelasnya.
Seandainya tidak ada Lesbumi, lanjut dalang yang aktif di Twitter itu, Situbondo menjadi daerah sunyi dari kesenian-kesenian juga. “Mereka nanggap wayang juga. Peran yang paling membekas bagi saya itu,” ujar pria yang pernah kuliah di jurusan Fisika dan jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung itu.
Pada Silaturahim Kebudayaan itu, Sujiwo Tejo tampil menyanyikan beberapa lagu. Di sela menyanyi, ia menyebut bahasa Indonesia kurang relijius dalam penggunaan istilah “pencipta” yang disandarkan kepada pengarang lagu. Bagi Presiden Jancuker tersebut, “pencipta” hanya layak disandarakan dan milik Tuhan. Sementara ia lebih setuju komposer. “Prinsipnya bukan pencipta lagu, karena saya Pancasilais, bagi saya pencipta hanya Tuhan,” katanya pada silaturahim bertema “Meneguhkan Kebudayaan, Memperkuat Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Ia mempercayai bahwa lagu-lagu itu sudah diciptakan Tuhan dan bertebaran di alam semesta. Kemudian manusia yang mengambil atau memetiknya. “Manusia yang berkesempatan,” katanya sambil mukanya menengadah ke langit-langit lantai delapan PBNU, sementara tangan kanannya melakukan gerakan seolah-olah memetik sesuatu.
Silaturahim dihadiri seniman Sunda, Gholla Barghawa membuka acara dengan membacakan pantun pembuka diiringi celempung dan karinding. Aktivis dan seniman Lesbumi Sastro Adi menyanyikan "Sapta Wikrama" disusul puisi Abdullah Wong, penampilan Pencak Silat NU Pagar Nusa, dan diakhiri dengan seminar yang diisi Ketua Lesbumi KH Agus Sunyoto, Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Warakawuri TNI/Polri (Pepabri) Agum Gumelar, budayawan KGPH Puger, dan Pemerhati Budaya Harry Tjan Silalahi, serta Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, dan Wakil Rais ‘Aam PBNU KH Miftahul Akhyar. (NU OnlineAbdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
>>> Please do not use anonymous ....
>>> Berikan data anda dengan benar.....
>>> Berikan komentar anda sebagai bukti bahwa anda adalah pengunjung dan bukan robot......
>>> Komentar ANONIM tidak akan ditanggapai oleh admin......
>>> Sorry, Admin will not respond to anonymous comments are not clear. so thank you