Berbakti Kepada Orang Tua. Suatu
hari ada seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah shallallahu ’alaihi
wasallam. Dia bertanya, “Wahai Rasulullah, aku mempunyai harta kekayaan dan
anak. Sementara ayahku berkeinginan menguasai harta milikku dalam pembelanjaan.
Apakah yang demikian ini benar?” Maka jawab Rasulullah, “Dirimu dan harta
kekayaanmu adalah milik orang tuamu.” (HR. Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah).
Begitulah, syari’at Islam menetapkan betapa besar hak-hak orang tua atas
anaknya. Bukan saja ketika sang anak masih hidup dalam rengkuhan kedua orang
tuanya, bahkan ketika ia sudah berkeluarga dan hidup mandiri. Tentu saja
hak-hak yang agung tersebut sebanding dengan besarnya jasa dan pengorbanan yang
telah mereka berikan. Sehingga tak mengherankan jika perintah berbakti kepada
orang tua menempati ranking ke dua setelah perintah beribadah kepada Allah
dengan mengesakan-Nya. Allah berfirman (artinya), “Dan sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah
kepada ibu bapakmu.” (QS. An-Nisa:36)
Birrul
Walidain, Bagaimana Caranya? Sebagai anak, sebenarnya banyak hal yang dapat
kita lakukan untuk mengekspresikan rasa bakti dan hormat kita kepada kedua
orang tua. Memandang dengan rasa kasih sayang dan bersikap lemah lembut kepada
mereka pun termasuk birrul walidain.
Allah
berfirman (artinya), “Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia, dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang.” (QS.
Al-Isra’:23). Dalam kitab Adabul Mufrad, Imam Bukhari mengetengahkan sebuah
riwayat bersumber dari Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir melalui Urwah, yang
menjelaskan mengenai firman Allah: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua dengan penuh kasih sayang.” Maka Urwah menerangkan bahwa kita seharusnya
tunduk patuh di hadapan kedua orang tua sebagaimana seorang hamba sahaya tunduk
patuh di hadapan majikan yang garang, bengis, lagi kasar.
Pada
suatu ketika, ada seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Dia bersama seorang laki-laki lanjut usia. Rasulullah
bertanya, “Siapakah orang yang bersamamu?” Maka jawab laki-laki itu, “Ini
ayahku”. Rasulullah kemudian bersabda, “Janganlah kamu berjalan di depannya,
janganlah kamu duduk sebelum dia duduk, dan janganlah kamu memanggil namanya
dengan sembarangan serta janganlah kamu menjadi penyebab dia mendapat cacian dari
orang lain.” (Imam Ath-Thabari dalam kitab Al-Ausath). Berbakti kepada orang
tua tak terbatas ketika mereka masih hidup, tetapi bisa dilakukan setelah
mereka wafat. Hal itu pernah ditanyakan oleh seorang sahabat kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Rasulullah menjawab, “Yakni dengan mengirim
doa (mendo’akan) dan memohonkan ampunan. Menepati janji dan nadzar yang pernah
diikrarkan kedua orang tua, memelihara hubungan silaturahim sera memuliakan
kawan dan kerabat orang taumu.” Demikian Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu
Hiban meriwayatkannya bersumber dari Abu Asid Malik bin Rabi’ah Ash-Sha’idi.
Bukan
dalam Syirik dan Maksiat
Meski
kita diperintah untuk taat dan patuh kepada mereka, namun hal itu tak berlaku
ketika keduanya memerintahkan kita untuk menyekutukan Allah dan bermaksiat
kepada-Nya. Rasulullah bersabda,”Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam
bermaksiyat kepada Allah.” (HR. Ahmad).
Kita
tentu ingat kisah seorang sahabat, Sa’ad bin Waqash yang diberi dua buah opsi
oleh ibunya yang masih musyrik: kembali kepada kemusyrikan atau ibunya akan mogok makan dan minum sampai
mati. Ketika sang ibu tengah melakukan aksinya selama tiga hari tiga malam,
beliau berkata,”Wahai Ibu, seandainya Ibu memiliki 1000 jiwa kemudian satu per
satu meninggal, tetap aku tidak akan meninggalkan agama baruku (Islam). Karena
itu, terserah ibu mau makan atau tidak.” Melihat sikap Sa’ad yang bersikeras
itu maka ibunya pun menghentikan aksinya.
Sehubungan
dengan peristiwa itu, Allah menurunkan ayat: “Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan
baik.” (QS. Luqman:15). Jadi, kalau orang tua mengajak ke arah kemusyrikan maka
tidak wajib bagi kita menaati mereka. Hanya saja sebagai anak tetap
berkewajiban bergaul dengan baik selama di dunia. Sikap santun harus senantiasa
kita jaga.
Awas:
Durhaka!
Durhaka
kepada orang tua (‘uquuqul walidain) termasuk dalam kategori dosa besar.
Bentuknya bisa berupa tidak mematuhi perintah, mengabaikan, menyakiti,
meremehkan, memandang dengan marah, mengucapkan kata-kata yang menyakitkan
perasaan, sebagaimana disinggung dalam Al-Qur’an: “Dan janganlah sekali-kali
kamu mengatakan ‘ah’ kepada orang tua.” (QS. Al-Isra’ : 23). Jika berkata
‘ah/cis/huh’ saja tidak boleh, apalagi yang lebih kasar daripada itu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa membuat hati
orang tua sedih, berarti dia telah durhaka kepadanya.” (HR. Bukhari). Dalam
kesempatan lain Rasulullah bersabda, “Termasuk perbuatan durhaka seseorang yang
membelalakkan matanya karena marah.” (HR ath Thabrani). Orang tua kita, siapa
pun orangnya, memang harus dihormati, apalagi jika beliau seorang muslim.
Rasulullah pernah berpesan, “Seorang muslim yang mempunyai kedua orang tua yang
muslim, kemudian ia senantiasa berlaku baik kepadanya, maka Allah berkenan
membukakan dua pintu surga baginya. Kalau ia memiliki satu orang tua saja, maka
ia akan mendapatkan satu pintu surga terbuka. Dan kalau ia membuat kemurkaan
kedua orang tua maka Allah tidak ridha kepada-Nya.” Maka ada seorang bertanya,
“Walaupun keduanya berlaku zhalim kepadanya?” Jawab Rasulullah, “Ya, sekalipun
keduanya menzhaliminya.” (HR. al Bukhari).
Berhubungan
dengan orang tua memang harus hati-hati. Jangan sampai hanya karena emosi,
kelalaian, ketidaksabaran plus rasa ego kita yang besar, kita terjerumus ke
dalam ‘uququl walidain yang berarti kemurkaan Allah. Na’udzubillah. Bukankah
dalam sebuah hadits Rasulullah pernah berpesan bahwa keridhaan Allah subhaana
wa ta’ala berada dalam keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada dalam
kemarahan orang tua? Dus, selagi masih ada waktu dan kesempatan, tunjukkanlah
cinta, sayang, hormat, dan bakti kita kepada keduanya, hanya untuk satu tujuan:
meraih cinta, ampunan, pahala, dan ridha-Nya.
(sumber:
buletin al Balagh ed. 20 Dzulhijjah 1427 H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
>>> Please do not use anonymous ....
>>> Berikan data anda dengan benar.....
>>> Berikan komentar anda sebagai bukti bahwa anda adalah pengunjung dan bukan robot......
>>> Komentar ANONIM tidak akan ditanggapai oleh admin......
>>> Sorry, Admin will not respond to anonymous comments are not clear. so thank you