Al Ghazali menceritakan sebuah
kisah, bahwa disebuah perbukitan nan elok, berdirilah sebuah rumah nan indah
dan sedap dipandang mata. Disekeliling rumah itu dirimbuni berbagai pepohonan
yang rindang. Halamannya penuh dengan rerumputan dan bunga-bunga yang menebar
keharuman. Begitu mempesona dan memberikan rasa nyaman bagi siapapun yg
menghuninya, karena dirawat dengan perawatan yang alami.
Di kesenjaan usianya, si empunya
rumah tersebut berwasiat kepada anaknya agar seantiasa menjaga dan merawat
pohon dan rumput-rumput itu sebaik mungkin. Begitu pentingnya, samapi-sampai
ia berkata “Selama engkau masih bertempat tinggal dirumah ini, jangan
sampai pohon dan tanaman ini rusak, apalagi hilang”.
Ketika tiba saatnya si empunya rumah
meninggal dunia, sang anak menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh
mendiang ayahnya dengan sungguh-sungguh. Rumah itu betul-betul dirawat,
demikian pula pohon dan rumputnya. Tidak hanya itu, si anak kemudian
berinisiatif untuk mencari jenis tanaman lain yang menurutnya lebih indah dan
lebih harum untuk ditanam dihalaman rumah. Maka, rumah itu semakin menggoda
untuk dilihat dan dinikmati.
Si anak berbunga bunga hatinya.
Dibenaknya terlintas kebanggaan bahwa dirinya telah berhasil menjalankan amanah
dengan menjaga pepohonan dan rerumputan yang menjadi penyejuk rumah lebih dari
yang diperintahkan oleh orang tuanya. Bahkan akhirnya, tumbuhan baru yang
ditanam si anak mengalahkan “rumput asli” baik dari segi keelokan maupun
harumnya.
Namun yang patut disayangkan,
tanaman dan rumput yang pernah diwasiatkan oleh ayahnya akhirnya ditelantarkan,
sebab menurutnya sudah ada rumput dan tanaman lain yang lebih bagus, lebih
sejuk dipandang, lebih harum dan sebagainya. Bahkan saat “rumput asli” tersebut
rusak, tak ada rasa penyesalan di hati si anak. “Toh sudah ada tanaman dan
rumput yg lebih bagus” pikirnya.
Tetapi anehnya, ketika “rumput asli”
peninggalan orang tuanya itu rusak dan musnah tak tersisa, bukan kenyamanan dan
ketentraman yg didapat. Karena ternyata, rumah tersebut lambat laun menjelma
menjadi tempat istirahat yang menakutkan. Betapa tidak, rumah tersebut dimasuki
berbagai macam ular, baik besar maupun kecil yang membuat si anak terpaksa
harus meninggalkan rumah tersebut.
Mencermati kisah ini, Al Ghazali
memaknai wasiat orang tua tersebut dengan dua hal:
- Pertama, agar si anak dapat menikmati keharuman rumput yang tumbuh
disekitar rumahnya. Dan makna ini dapat ditangkap dengan baik oleh nalar si
anak.
- Kedua, agar rumah tersebut aman. Sebab aroma rumput dan tanamn
tersebut dapat mencegah masuknya ular kedalam rumah yang tentu berpotensi
mengancam keselamatan penghuninya. Namun makna ini tidak ditangkap oleh nalar
si anak. ( Qodliyyah al Tasawwuf al Munqidz min al Dlolal, 140 ).
Kisah ini sangat relevan jika di
analogikan dengan wasiat syaikh KH. Hasyim Asy’ari untuk menghindari ajaran
beberapa tokoh yg menurut beliau tidak layak untuk dijadikan panutan oleh ummat
islam indonesia, karena banyak hal yang bertentangan dengan apa yang diyakini
dan diamalkan oleh ummat islam Indonesia yang dibawa oleh wali songo.
Kata Syaikh Hasyim asy’ari,
sebagaimana telah maklum bahwa kaum muslimin di indonesia khususnya tanah jawa
sejak dahulu kala menganut satu pendapat, satu madzhab dan satu sumber. Dalam
fiqih, menganut madzhab Imam Syafi’i, dalam ushuluddin menganut madzhab Abu
Hasan al Asy’ari dan Abu Manshur al Maturidi, dan dalam tasawuf menganut
madzhab imam Ghazali dan Al junaidi.
Kemudian pada tahun 1330 H,
muncullah berbagai kelompok dan pendapat yang bertentangan serta tokoh yang
kontroversial yang berasal dari timur tengah, khusunya dari saudi.
Untunglah masih ada kelompok yang
tetap konsisten dengan ajaran ulama salaf dan berpedoman pada kitab kitab
mu’tabaroh/representatif, mencintai ahlul bait, para auliya, dan para sholihin,
bertabaruk kepada mereka, berziarah kubur, mebacakan talqin untuk mayyit,
meyakini adanya syafa’at, bertawasul dll . ( Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah:
9, Risalah Sunnah wal Bid’ah: 19) .
Wasiat Syaikh Hasyim Asy’ari
tersebut bisa dimaknai dengan :
1.
Agar kaum muslimin khusunya warga
nahdliyyin dalam mengamalkan ajaran islam, selalu berpegang kepada madzhab yang
Mu’tabaroh yang telah disepakati oleh para ulama
2.
Menjaga aqidah ummat islam agar
tidak terpengaruh atau dimasuki faham yang bertentangan dengan ajaran ulama
salaf yang sudah turun temurun diamalkan oleh ummat Islam dunia khususnya
Indonesia dan Nahdliyyin.
Sami'na Wa'atho'na
BalasHapus