Itu pagiku. Bukan pagi imitasi yang sakau. Tanpa celah kelabu. Tak ada buram menyembur menyentuh. Pagi yang setia menebar embun. Pagi yang tawajuh.
Benar, ada buliran air meluncur dari langit pertama. Bahkan, itu bukan pagi biasa. Dia adalah sang fajar dari singgasana- Nya. Langit pun harus rela layu membelah demi cahaya langit merah jingga itu menampangkan muka. Sejuknya lembut memberingas kulit. Hembusnya bisa menggelinjangi poripori. Ah, damainya berdamai dengan ufuk yang mulai merebak. Damainya menyapa langit yang baru bangun dari tidur tanpa kasur. Ih, iya. Begitulah langit. Hari itu memang tampak menyejukkan.
Tapi, di lain masa, langit pun akan tampil cemberut, berwajah awut. Sekelibat dia bisa sangar bermetamorfosis menjulurkan abu-abu hitam, lalu menumpahkan tangisan kalut. Langit dalam tempo-tempo, akan melanglang menjadi mahakala yang bisa membumikan apa saja. Bisa memproduksi hujan es, memayungi topan yang mengamuk, merestui datangnya wabah banjir dengan hujannya, dan apa saja yang bisa langit perbuat.
Uh, langit memang perkasa.Bisa mematri apa saja. Kenapa tiba-tiba menganalisa langit? Mungkin, karena hari-hari manusia selalu berharap kebaikan langit. Berharap langit menurahkan pundipundi rezeki. Berharap agar langit tak menurunkan hujan mahaderas.Berharap langit tak mengizinkan dialiri panas menyengat yang seenaknya membakar jantung- jantung insan di bumi secara beringas.Berharap langit menutup rongga-rongga agar para malaikat pencabut nyawa tak bisa bertugas.
“Oaahh, langit sudah membelah. Fajar menyingsing.Dan, semalaman aku ditemani debar jantung dan gelap,’’ Raden berbicara sendiri dengan hatinya. Semalaman,hati di dalam dadanya menemani Raden tanpa tidur karena menunggu sesuatu.Menunggu kabar dari dahsyatnya rindu. Raden bergegas mengambil air wudu. Siap menghadap sang Khaliq. Salat. Raden menuju tempat pancuran air,kran yang senantiasa ikhlas mencipratkan air bersih. Dua rakaat sunnah sebelum Subuh, Salat Fajar, dengan bacaan surat-surat pendek kitab suci dilakukannya kemudian. Tak sampai lima menit.
Setelah salam kedua salat sunah Fajar, Raden berdiri lagi. Kali ini bersiap untuk yang salat wajib, Subuh.Raden memang akrab dengan salat sunah untuk mengawali dan mengakhiri salat wajib. Rupanya, Raden ingin berinvestasi pahala melakoni salat sunah rawatib sebagai pengiring salat wajib. ‘’Salah jika berharap pada langit. Berharap dan meminta harus pada yang membuat langit, pada Tuhan. Langit tak bisa mendatangkan apa-apa tanpa diperintah dan dikehendaki Tuhan,’’ lirih Raden menyimpulkan gelayut pikirannya tentang langit usai salat Subuh.
Sejurus kemudian, Raden merebah di atas sajadah. Sesekali, dia melirik Blackberry Apollo yang dia beli tujuh bulan lalu.Tak ada kabar.Tak ada SMS.Tak ada BBM. “Ke mana dia? Nggak biasanya dia nggak ngasih kabar?” agak sesak dan menyempit dada Raden, khawatir dengan bidadarinya. Biasanya pukul 2 atau pukul 3 pagi, bidadari sudah mentransfer suasana batin dari ujung pulau sana.Tapi,malam ini kosong. Sampai subuh tiba, tak ada kabar. Pending? Lowbat? Malas? Lupa? Sakit? Atau apa?
“Hmmmmmmm,” Raden cuma bisa menggumam. “Den!! sudah telpon ibumu? Kemaren ibumu titip pesan, kau disuruh telpon.BB kau nggak aktif saat ibumu menelpon. Cepat telpon ibumu,” Om Puri mencegat lamunan Raden. “Oh, iya Om, nanti aku telpon ibu,”Raden menyahut dan otomatis memotong reaksi pikirannya soal langit dan bidadarinya. Sudah sebulan ini Raden menumpang hidup di rumah Om-nya yang seorang Ustad. Omnya seorang ustad yang aliansi pemikirannya sejalan dengan jamaah Islam garis tegas nan lugas.
Ideologinya Ahlul Sunnah Wal Jamaah Wal Imamiyah. Di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, Raden kini menetap sementara dengan Om-nya yang punya kepanjangan nama Ahmad Purnama Ridwan tapi akbar dipanggil Ustad Puri itu. Sebelumnya, Raden ngekos di sekitaran Rawa Belong. Ada istri om, pembantu, dan dua anak om yang baru berumur 5 dan 7 tahun,di rumah sederhana tapi asri itu.
Ada lebih seribuan buku tebal, berbaris di lemari buku. Bagi om yang seorang Ustad, melahap buku-buku dengan beragam tema menjadi niscaya. Membaca buku bagi om bersifat fardhu ’ain. Tak bisa diganti yang lain dan harus dilakukan. Ada buku klasik tulisan ulama salafusshalih, buku ulama kontemporer, hingga kitab-kitab sastra, buku ilmiah postmodernis, dan beberapa novel epos. Raden sungguh enjoy numpang di rumah om-nya itu.
Sebagai jurnalis di sebuah harian di Ibukota,buku-buku om Puri dinikmati seleluasa hati.Jurnalis harus banyak membaca.Membaca apa saja. Membaca buku dan membaca fenomena sekitar. Hasil reportase yang disajikan kepada pembaca harus berdasar fakta. Sebuah fakta kemudian diteruskan sebagai news kepada pembaca. Begitulah kerja jurnalis. * * *
“Klingg...” BB Apollo itu mengeluarkan nada. Itu alert jika ada BBM masuk. Disambarnya BB yang tergeletak di samping sajadah. Mata Raden terfokus pada status yang tertanda biru. Dari bidadari : Rindu Fatisyah. Sebuah nama yang dua bulan ini mengusik hatinya. Raden sedang jatuh cinta pada nama ini. Pada gadis ini. Hari-hari, jam-jam, menit-menit, detikdetik yang dilalui Raden, bayang wajah Rindu tak bisa dilepas dari hatinya.Dari hatinya yang terdalam. “Mas,maaf aku ketiduran.”
“Aku pulang kerja jam 2.” “Pulang kerja, ngobrol ama Pia,trus ketiduran.” “Mas lg apa?” Raden terperanjat gembira setelah semalaman gundahgulana. Bidadari telah turun dari langit. Bidadari itu mengirim BBM. Memberi kabar. Memberi kabar yang terlambat. Bidadari itu, tertulis di status BBM sebagai Rindu Ekananda. “Alhamdulillah.” “Lagi baca Quran.” “Jangan telat sarapan,ya.” Raden membalas singkat BBM sang Bidadari.Walau jawaban Raden singkat,tapi ada makna yang sangat panjang.
Kerinduan Raden kepada bidadari bukan roman picisan. Kerinduan Raden pada Rindu adalah tafsiran tentang banyak makna.Tentang makna kehidupan, tentang serpihan jiwa yang terlantar tapi harus disatukan,tentang makna bersosialisasi yang humanis, tentang makna asmara yang bermartabat, tentang menghargai hati, dan tentang merindukan bidadari dari langit. “Dia bukan perempuan biasa,
” Raden meyakinkan diri. Bungsu dari lima bersaudara itu adalah reinkarnasi Cut Nya’ Dien,epigon Cut Meutiah, dan penerus Dewi Sartika.Rindu adalah pejuang. Mandiri. Ringan Tangan. Baik hati. Jujur. Dia juga memimpikan kemerdekaan sejati. Dan, tentu saja,Rindu laksana RA Kartini yang punya pergaulan luas dari banyak kalangan. Tidak jumudan. Tidak egois. Dan yang jelas, dia gadis yang cantik.Cantik.Sekali lagi, cantik! Soal kecantikannya, tak bisa ditawar lagi.
Dia bidadari turun dari langit.Titik. “Aku anak kelima,Mas.Dua abang laki. Dan dua kakak perempuan. Jika ditanya orang dari mana asalku, aku menyebut diriku gadis Betawi,’’ katanya ketika itu. Ternyata kecantikan Rindu itu adalah titisan sejarah. Dari cikal bakalnya, bidadari ini dialiri darah dari khayangan, campur Betawi, campur Sumatera Aceh, campur Arab, dan campur Portugal. Ada bau Tionghoanya sedikit.
“Ah, soal silsilah dan azbabun- nuzul dari mana dia berasal, aku nggak peduli.Soalnya aku sudah membuat sendiri silsilah untuknya.Dia anaknya bidadari dari langit. Karena itu, dia bidadari juga. Soal nama Rindu Fatisyah, itu hanya adaptasi saja karena dia hidup di tanah Bumi,” begitu simpul Raden. Raden punya alasan kuat menyayangi Rindu. Bukan karena kebidadariannya. Tapi justru karena sifat kemanusiaannya. Perkenalannya dengan Rindu,saat Raden ditugasi melakukan liputan investigasi ritual jahiliyah di salah satu sudut ranah Pulau Panas.
Di seberang Pulau Dwipa. Rindu adalah salah satu staf karyawan di perusahaan ritual jahiliah itu. Jam kerjanya malam. Dari pukul 20.00 hingga 03.00. Rindu ingin berlepas diri dari komunitas jahiliah itu.Tetapi entah kenapa dia tidak bisa pergi. Di ujung sana, air matanya telah berubah menjadi buliran serbuk laksana serbuk kayu. Kebosanan melumut di dada Rindu. Terkekang dalam kalut yang hebat. Tak berdaya, tapi tak bisa apaapa. Ada siksa yang melumatnya, menggerusnya, dan menyerpihnya.
Di dalam sana, pancar bidadari perlahan sirna menjadi onggokan yang tak terbentuk. “Mas, tolong bawa aku lari dari tipuan ini.Aku nggak mau kayak gini,” bisik Rindu merapat ke jantung Raden. Tangisannya meraungraung membikin pilu. Tangisannya mencacah udara dan terdengar begitu sedih. “Dengar Mas,aku menangis lagi. Bawa aku pergi dari keremangan ini,” tangis Rindu memantulkan sayat pedih.
Raden memberabak, mata berkaca-kaca.Tugas investigasinya berbaur sedu sedan menatap linangan perih bidadari yang salah alamat ketika menginjak bumi. Sang bidadari menginjak di tanah bumi yang berlumpur. Raden menyumbat tangis yang siap meleleh. Rindu pasti tak ingin melihat Raden menangis. Raden tahu itu. Banjir tangis akan menghanyutkan semuanya. Ombak-ombak tangis akan menghancurkan tubuh dan pasti sangat menyiksa.
“Apa yang mereka lakukan terhadapmu?”Raden berusaha tenang menghadang sedih. “Mereka semua mencoba memangsa kami, para perempuan. Mereka akan membeli kami dengan setumpuk uang mereka.Belasan juta,Mas”. “Siapa mereka itu?” “Lelaki, Mas. Mereka para laki-laki yang mengaku sok ber-uang. Mereka adalah anggota grup jahiliyah,”Rindu meratap sambil mati-matian menahan tangis yang siap membuncah. “Kamu bagaimana?” Raden penasaran.
“Aku belum tersentuh,Mas. Dan aku nggak mau saat-saat biadab itu datang menghampiri. Bawa aku keluar, Mas. Sekarang.. Sekarang, Mas,” isak Rindu. Raden ingin menjadi pahlawan tapi terlihat lugu dan polos. Raden menjawab sekenanya dengan keyakinannya yang sejati. “Iya, aku akan membawamu keluar dari tempat remang itu,sekarang.” * * *
Apapun, Raden menganggap Rindu adalah bidadari. Di dalam keluarga manusia, Rindu paling menyayangi ayah dan bundanya. Periang, humoris, suka menolong tanpa pamrih, gaul,pintar bersosialisasi,adalah karakternya yang paling kentara.Kebaikannya di atas rata-rata. Kebaikan Rindu sudah terkenal di dunia dan di akherat. Dua bulan ini, percakapan mereka menerobos ke ruang terdalam. Begitu banyak yang sudah diceritakan.
Tentang kerinduan yang menggunung, tentang jantung yang terbelah saling menyayangi. Tentang hati yang terbagi satu sama lain.Tentang cinta yang menggumpal. Titik-titik rindu berlomba mengguyur dengan gerimis yang berjatuhan menyegarkan Bumi. Raden dan Rindu mencoba merangkai takdir. Mereka yakin, takdir menjadi raja dan permaisuri akan tiba. Bayangan Rindu kerap menciumi lamunan Raden.
Dan begitu sebaliknya. Mereka tak ingin berpisah. Mereka ingin bersatu selamanya. Disatukan takdir. Takdir mereka bukan sekadar saling merunduk menyentuhkan bibir.Tapi, takdir mereka dirajut seperti takdir datangnya embun pagi dari sang Fajar setiap Subuh. Begitu sejuk dan indah.Takdir yang langsung turun dari Langit Ketujuh. Takdir menuju keabadian kasih. * * *
“Brrrgt..brrgttt..brrrgtt,” Kali ini,SMS yang masuk. From Shali to Raden : “Beib, soal pernikahan kita yang 6 bulan lagi,aku sudah bayar DP untuk sewa gedungnya, ya.Catering juga sudah aku hubungi dan sudah dibayar separo. Semoga pernikahan kita lancar. Daaah, sayang! Awas, sayang jangan nakal-nakal di sana.” SMS dari Shali, kekasihnya yang hampir dua tahun ini, membuat Raden tersergap sedih dan terombang lunglai.Hatinya berkecamuk meronta.
“Rindu,bukankah kamu bidadari dari langit. Cobalah minta kepada penguasa langit agar takdir ini menjadi milik kita.Agar kita tak bisa dipisahkan oleh siapapun.Aku akan membawamu keluar dari tempat remang itu dan hidup bahagia, sesuai takdir!
Shali, meski kamu sok mengatur semuanya selama ini,sok menjadi penentu dalam hubungan ini,tapi kau juga berhak dengan takdirmu, mendapatkan kebahagiaan.” Milik siapakah takdir ini sesungguhnya? Takdir tetap milik si Penguasa Langit. Raden pun pasrah menanti takdir dari langit itu.
*** Keterangan : *) tawajuh : menghadapkan diri pada Tuhan *) epigon : pengikut *) azbabun-nuzul : asal mula *)salafusshalih: ulama terdahulu
Biodata : BADAI EKANANDA bernama asli Suyunus Rizki Ekananda. Dia adalah seorang penulis, tinggal di Jakarta. Karyanya dimuat di berbagai media massa.
Permanent changes are less apt to happen overnight, however are definitely worth the wait
BalasHapusuk payday loans the investment
banker that collects a seven figure salary soon after depositing - tarp funds.
my webpage :: uk payday loans