Pada tahun
1854 Raden Adipati Mertohadinegoro meninggal dunia dan dimakamkan di pemakaman
Tajug, + 4 km, arah timur kota
Ponorogo menuju Kec. Pulung. Di tahun itu juga jabatan bupati di percayakan
kepada Raden Mas Tumenggung Cokronegoro I yang memerintah Kabupaten Ponorogo
selama tahun 1854 sampai dengan 1856. Ketika masa pemerintahan Cokronegoro ini di
dukuh Bedi Desa Polorejo sudah berdiri sebuah Pondok Pesantren Bedi sesuai
dengan nama letak pesantren itu. Konon santri nya banyak mencapai ratusan
santri jumlahnya, dan menurut ukuran penduduk diwaktu itu jumlah ratusan santri
itu sudah cukup terkenal. Para santri itu berdatangan dari Jawa Tengah dan Jawa
Timur, kebanyakan para santri yang datang ke pesantren ini untuk menghafal
“Al-Qur’an” ka rena memang Mbah Ibrahim
adalah Kyai yang hafal Qur’ an dan menguasai betul tentang penulisan, bacaan
dan kandungan tafsir ayat-ayat Al-Qur’an.
Santri-santri
Pondok Pesantren Bedi sangat terkenal dengan sifat brawokan dan pemberani, pada
suatu hari K. Ibrahim menyuruh mereka mengikuti kerja bakti (ro’an.jw) memotong
bambu di dukuh Bakalan, arah barat utara Bedi + 1,5 km. dimana pohon
bambu itu akan di gunakan untuk pembangunan pondok. Setelah selesai memotong
pohon-pohon bambu itu mereka mengusungnya dengan jalan kaki dari Bakalan menuju
Bedi melewati jalan arah Ponorogo Magetan. Di sepanjang jalan ratusan santri
yang memikul pohon-pohon bambu itu sama berteriak-teriak sesuka hatinya, dan
tidak jarang mereka itu ada yang cara memikul batang bambu dengan di palangkan
(dipikul malang-jw) di jalanan, sehingga sangat mengganggu orang yang sama le
wat di jalan itu(2).
(2) – Sumber informasi dari K. Agus Damanhuri cucu Mbah Ibrahim
Kebetulan saat itu pula Adipati
Ponorogo R.M.T Cokrone goro lewat jalan yang di lalui para santri pemikul
batang-batang bambu itu, ketika itu pula perjalanannya untuk me lakukan
inspeksi ke daerah Ponorogo Utara bersama keluarga merasa sangat terganggu.
Lalu Adipati menghentikan kereta bendinya, kemudian bertanya kepada para pemuda
yang ugal-ugalan dan mbeling itu, namun para santri tidak menjawab sesuai
dengan pertanyaan Adipati bahkan mere ka malah mengolok-olok dan menggojloknya.
Tetapi perbuatan para santri ini memang tidak di sadari kalau yang di hadapi
itu adalah Adipati Cokronegoro, sama sekali para santri itu tidak kenal dan
tidak mengerti bahwa yang di olok-olok dan di gojlok adalah orang yang paling
berkuasa di tlatah Ponorogo.
Setelah
peristiwa itu berlalu, sepekan kemudian K. Ibrahim di timbali untuk menghadap kanjeng Raden Mas
Tumenggung Cokronegoro, untuk di mintai keterangan perihal sikap para santrinya
terhadap dirinya yang di olok- olok dalam perjalanannya ke wilayah Ponorogo
Utara.
K. Ibrahim
adalah sosok kyai yang sabar, arif dan wira’i, dengan serta merta memintakan
permohonan maaf atas perilaku para santrinya yang terkesan mbeling dan kurang
ajar itu. Setelah agak lama berbincang-bincang
antara keduanya, dan saling mengerti siapa sebenarnya K. Ibra him dan
siapa pula R.M.T Cokronegoro, maka tidak ada sangsi yang di jatuhkan kepada
para santrinya K. Ibrahim. Cokronegoro adalah putra dari Kanjeng Kyai Hasan
Besa ri Tegalsari, beliau adalah Adipati Tumenggung yang muslim ayah dari Cokroamiseno
kakaknya HOS Cokroaminoto(3).
K. Ibrahim keluar dari dalem kabupaten dan pulang dengan hati yang lega,
karena ternyata kanjeng adipati berhati murah dan mudah mengampuni.
(3) – Majalah Pustaka ITB No. 6 Juli 1978.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
>>> Please do not use anonymous ....
>>> Berikan data anda dengan benar.....
>>> Berikan komentar anda sebagai bukti bahwa anda adalah pengunjung dan bukan robot......
>>> Komentar ANONIM tidak akan ditanggapai oleh admin......
>>> Sorry, Admin will not respond to anonymous comments are not clear. so thank you