Ketika masih
usia kanak-kanak KH. Ibrahim, selalu belajar dengan tekun kepada ayahandanya
sendiri, tentang membaca dan menulis huruf Arab, karena pada saat itu be lum
ada pendidikan formal seperti zaman sekarang. Dan yang terutama adalah belajar
Al-Qur’an karena KH. Gho zali ayah Ibrahim adalah seorang yang ‘alim dan hafidl
Al –Qur’an dan memiliki pesantren sendiri di Ds. Cokromeng galan. Setelah
menginjak usia remaja Ibrahim di pondok kan
di Pesantren Tegalsari, Jetis, Ponorogo arah selatan da ri desanya + 8 Km, yang mana kala itu di asuh oleh K. A
geng Raden Hasan Besari. Diantara santrinya yang saat itu adalah Raden Ngabai
Ronggowarsito, seorang pujangga keraton Solo yang sangat terkenal sampai zaman
sekarang ini. Konon sepulang dari Tegalsari Ibrahim agak memadai ilmunya,
sehingga oleh bapaknya di tugaskan membantu mengajar di
pesantrennya sendiri di Cokromenggalan. Se
telah usianya semakain dewasa,
oleh ayahnya di jodohkan dengan santri
putri di pesantrennya yang bernama Ny. Sud jinah. Santri putri ini sangat
rajin, tawadlu’ dan manut da lam berkhidmah kepada kyainya. Oleh karenanya, K.
Gho zali langsung mengambilnya sebagai menantu, dan sekitar tahun 1840 M.
Ibrahim menunaikan rukun Islam ke 5 yai tu ibadah haji berangkat ke tanah suci
Makah al-Mukara mah tanpa di ikuti istrinya.
Saat
perjalanan ke tanah suci ibadah haji ke Makah beliau menggunakan kapal layar
melalui pelabuhan Tan jung Perak Ujung Surabaya dan memang hanya itulah satu
–satunya alat transportasi yang ada saat itu yang di tongka ngi orang-orang
Madura. Pemberangkatannya di waktu itu tepat setahun sebelum masuk bulan
Dzulhijjah.
Setelah tiba
di Makah beliau di samping melaksana kan
ibadah haji juga memperdalam Tafsir Al-Qur’an dan Hadits juga Ilmu-ilmu
Fiqih bermadzhab Syafi’i. Bahkan juga memperdalam hafalan Al-Qur’an yang
merupakan ci ta-cita langka di tanah Jawa ketika itu. Karena memang di Jawa
saat itu belum ada guru yang membimbing hafalan Al-Qur’an.
Orang-orang
yang sezaman dengan Ibrahim, orang
Indonesia yang belajar di Makah ketika itu adalah Syaikh Ahmad Khotib
(Minangkabau), Ustadz Basuni Imran (Bru nai Darussalam), Syaikh Muhammad Nawawi
Bantani (Banten), Syaikh Mahfudl (Termas-Pacitan Jawa Timur), KH. Syamsul
Arifin (Situbondo) ayah K. As’ad. Mereka itu sama menjadi tokoh dan Ulama’
tersohor di Indonesia.
Ibrahim
belajar di Makah selama 8 tahun, beliau se lama belajar disana disamping
mendalami ilmu-ilmu aga ma juga belajar ilmu tulis menulis huruf Arab yang
indah, khoth dan kaligrafi. Karena Ibrahim ketika nyantri di Pon dok Tegalsari termasuk santri yang rajin
tulis menulis. Ba nyak sekali kitab-kitab peninggalannya yang sampai seka rang ini
masih ada. Walaupun tulisannya
belum bisa dibi
lang bagus, tetapi rapi dan mudah
dibaca. Dan setelah bela jar Khoth dan kaligrafi di Makah tulisan Ibrahim
sangat ba gus kalau tidak bisa di katakan luar biasa. Semua itu bisa di lihat
di dalam rak musium kitab peninggalan al-marhum KH. Ibrahim di lingkungan
masjid Bedi,Polorejo, Babadan Ponorogo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
>>> Please do not use anonymous ....
>>> Berikan data anda dengan benar.....
>>> Berikan komentar anda sebagai bukti bahwa anda adalah pengunjung dan bukan robot......
>>> Komentar ANONIM tidak akan ditanggapai oleh admin......
>>> Sorry, Admin will not respond to anonymous comments are not clear. so thank you