Ketika
Tumenggung Brotonegoro memenuhi pang gilan rajanya berangkat dari Polorejo
bersama-sama para prajurit dan utusan menuju Solo, dalam perjalan tidak mendapati
gangguan apapun dan selamat sampai di keraton.
Kemudian
Tumenggung bersama utusan memasuki keraton menghadap Raja, sesampainya di
hadapan raja ti dak ada tutur kata yang mengancam keselamatannya dari rajanya,
bahkan hanya membicarakan tentang keadaan keamanan ka temenggungan, dan
kesejahteraan penduduk Ka bupaten Polorejo dan tidak ada yang lain. Menjadi
legalah hati sang tumenggung setelah sekian waktu di hadapan ra ja di terima
dengan baik dan tidak ada tanda-tanda untuk di rangket (di tangkap) untuk di
penjarakan.
Setelah
selesai pisowanan (menghadap) raja, Brotonegoro pulang kembali ke Kabupaten
Polorejo dengan sela mat, dan sesampainya di dalem Kabupaten terus istirahat
untuk melepas lelah dan bersyukur kepada Tuhan bahwa dirinya terlepas dari
fitnah yang mengancamnya dengan hukuman penjara. Kemudian karena itu lalu
beberapa hari kemudian tumenggung Brotonegoro mengumpulkan istri dan anak
putrinya yang menjanda itu untuk di nikahkan de ngan K. Ghozali sebagai hadiah
atas bantuannya dalam pe nyelematan beliau dari ancaman raja Solo. Lalu
terjadilah pernikahan itu atas persetujuan kedua belah pihak yaitu anak putri
Brotonegoro yang janda dengan K. Ghozali.
Disamping K.
Ghozali diberi hadiyah anak putri se orang tumenggung, juga di hadiyahi sebuah
lumbung tem pat penyimpanan padi, yang mana bangunan lumbung itu bahan-bahannya
dibuat dari kayu-kayu jati. Dan selanjut nya lumbung itu diboyong ke
Cokromenggalan, oleh K. Ghozali di jadikan Masjid, peristiwa itu terjadi pada
tahun 1830, sampai sekarang bangunan Masjid dari lumbungnya tumenggung Brotonegoro itu masih baik, ketika
diadakan pemugaran tahun 2007, terjadi keajaiban yang luar biasa, banyak tukang
kayu yang tidak mampu mencopot (mele pas) empat tiyang (cagak-jw.) masjid itu.
Karena tidak bi sa dilepas, maka para tukang dan warga jama’ah bersepa kat
tiyang itu lebih baik dipindahkan saja dari tempatnya, sebab program pemugaran
itu nanti cagak masjid akan diganti dengan cagak cor beton, layaknya bangunan
model zaman sekarang. Ketika sudah di sepakati, maka tukang de ngan warga yang
jumlahnya ketika itu lebih dari delapan puluh
orang ramai-ramai membedol
cagak empat itu dengan cara di
pikul bersama-sama, namun usaha itu sia-sia belaka dan tidak berhasil, cagak
tetap berdiri kokoh di tempatnya. Kemudian warga jama’ah dan para tukang berem
bug lagi, bagaimana caranya agar empat tiyang masjid itu bisa di copot (
diotha’i-jw) atau di pindahkan dari tempat nya. Lalu mereka utusan seseorang
untuk menemui K. Adnan yang masih cucu buyutnya K. Ghozali, yang ketika itu
sedang ada suatu keperluan, yang sebagaimana biasa beli au sering di undang
pada suatu hajatan warga masyarakat untuk memberikan do’a atau mau’idlah
hasanah (ceramah) di suatu tempat di luar desanya, sekalipun sebenarnya Kya
inya masjid K. Ghozali Cokromenggalan itu adalah juga K. Adnan. Setelah utusan
itu ketemu dan menyampaikan keja dian yang terjadi mengenai cagak masjid yang
tidak dapat di copot dan tidak pula bisa di pindahkan, maka K. Adnan
serampungnya pada acara hajatan itu langsung pulang menuju Masjid. Dan
sesampainya di masjid banyak orang me nyampaikan kejadian itu kepadanya, lalu
beliau mengajak para tukang kayu itu dan warga jama’ah duduk melingkari empat
tiyang masjid itu dengan menghadiyahkan do’a ke pada K. Ghozali, setelah
selesai berdo’a bersama-sama K. Adnan berdiri dan menepuk-nepuk empat tiyang
masjid itu dengan telapak tangan kanannya, kemudian menyuruh para tukang dan
warga jama’ah untuk memindahkan cagak empat itu bersama-sama ke calon tempat
Imaman masjid baru tanpa melepas dari bentuk aslinya.
Akhirnya cagak
empat beserta atap tengah masjid be kas lumbung sang tumenggung itu sampai
sekarang masih di abadikan dan tetap utuh keadaannya sebagai imaman di masjid
K. Ghozali yang sudah di renovasi tahun 2007 itu.
Hadiyah yang
ketiga dari tumenggung Brotonegoro kepada K. Ghozali adalah sebidang tanah yang
masih berwujud hutan angker yang
terletak di timur utaranya dalem katemenggungan + 1 km. Yang mana tanah itu setelah K. Ibrahim
menamatkan belajarnya di Makah, oleh K. Ghozali kelak akan diberikan kepada
Ibrahim putra pertama satu- satunya yang ilmunya sudah mumpuni. Karena
tampaknya K. Ibrahim lebih bersikap tawadlu’ kepada ayahnya, dia enggan
menggantikan ayahnya selama ayahnya masih hidup, begitulah jawaban K. Ibrahim
ketika disuruh menggantikan ayahnya untuk mengasuh pesantren Cokromeng galan.
Oleh karena itu, agar Ibrahim juga ikut berperan aktif dalam pengembangan
dakwah agama Islam, K. Ghozali memberinya tanah hadiyah tumenggung Brotonegoro
yang masih berupa hutan dan belum berpenduduk yang terletak di timur laut dalem
katemenggungan itu kepada Ibrahim.
Setelah cukup
perbekalan Ibrahim bersama istrinya berpamit kepada ayahnya untuk babat hutan
dan menempa ti tanah yang baru, dan memang betul sebagaimana yang diceritakan
banyak punggawa katemenggungan bahwa ta nah itu terkenal angker, ketika Ibrahim
mulai menebangi semak-semak dan pepohonan banyak gangguan dari makh luq halus.
Namun pekerjaan itu tetap di lakukan tanpa menyerah sedikitpun, dan ketika
malam hari tiba gubuk yang di diami Ibrahim ketika babad hutan itu sering di
ganggu oleh makhluq halus berbentuk manusia yang gimbal ram butnya, besar
badannya dan hitam kelam kulit tubuhnya yang biasa disebut orang dengan nama
Memedi. Akan te tapi Ibrahim tetap tegar menghadapi gangguan-gangguan itu, yang
akhirnya dengan do’a-do’a yang di wiridkan, maka para makhluq halus yang
berbentuk genderuwo, wewe dan memedi itu tunduk dan menyerah kalah, dan
selanjut nya para makhluq halus itu oleh Ibrahim di tempatkan pa da sebuah
pohon kayu di sekitar lokasi tanah babadannya. Sampai sekarang pohon dan tempat
para makhluq halus itu tetap utuh tidak ada orang yang berani mengusiknya, dan
pohon itu letaknya di timur lurung masuk masjid Bedi se belah tenggaranya
masjid. Yang kemudian lingkungan ta nah babadan K. Ibrahim itu di namakan
dengan nama Bedi dari kata Memedi dengan
menghilangkan awalan me menjadi Medi
yang akhirnya menjadi Mbedi, karena kata mbe di itu agak
berat dalam pengucapan, maka menjadi Bedi. Sampai sekarang
wilayah lingkungan yang di babad oleh K. Ibrahim ini di namakan Bedi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
>>> Please do not use anonymous ....
>>> Berikan data anda dengan benar.....
>>> Berikan komentar anda sebagai bukti bahwa anda adalah pengunjung dan bukan robot......
>>> Komentar ANONIM tidak akan ditanggapai oleh admin......
>>> Sorry, Admin will not respond to anonymous comments are not clear. so thank you