Hadiyah dari seorangTumenggung Polorejo Ketika
Tumenggung Brotonegoro memenuhi panggilan rajanya berangkat dari Polorejo bersama-sama para prajurit dan utusan menuju Solo, dalam perjalan tidak mendapati gangguan apapun dan selamat sampai di keraton.Kemudian Tumenggung bersama utusan memasuki keraton menghadap Raja, sesampainya di hadapan raja tidak ada tutur kata yang mengancam keselamatannya dari rajanya, bahkan hanya membicarakan tentang keadaan keamanan katemenggungan, dan kesejahteraan penduduk Kabupaten Polorejo dan tidak ada yang lain. Menjadi legalah hati sang tumenggung setelah sekian waktu di hadapan raja diterima dengan baik dan tidak ada tanda-tanda untuk di rangket (di tangkap) untuk di penjarakan. Setelah selesai pisowanan (menghadap) raja, Brotonegoro pulang kembali ke Kabupaten Polorejo dengan selamat, dan sesampainya di dalem Kabupaten terus istirahat untuk melepas lelah dan bersyukur kepada Tuhan bahwa dirinya terlepas dari fitnah yang mengancamnya dengan hukuman penjara. Kemudian karena itu lalu beberapa hari kemudian tumenggung Brotonegoro mengumpulkan istri dan anak putrinya yang menjanda itu untuk dinikahkan dengan K. Ghozali sebagai hadiah atas bantuannya dalam penyelematan beliau dari ancaman raja Solo. Lalu terjadilah pernikahan itu atas persetujuan kedua belah pihak yaitu anak putri Broto negoro yang janda dengan K. Ghozali. Disamping K. Ghozali diberi hadiyah anak putri seorang tumenggung, juga di hadiyahi sebuah lumbung tempat penyimpanan padi, yang mana bangunan lumbung itu bahan-bahannya dibuat dari kayu-kayu jati. Dan selanjutnya lumbung itu diboyong ke Cokromenggalan, oleh K. Ghozali di jadikan Masjid, peristiwa itu terjadi pada tahun 1830, sampai sekarang bangunan Masjid dari lumbungnya tumenggung Brotonegoro itu masih baik. Hadiyah yang ketiga dari tumenggung Brotonegoro kepada K. Ghozali adalah sebidang tanah yang masih berwujud hutan angker yang terletak di timur utaranya dalem katemenggungan + 1 km. Yang mana tanah itu setelah K. Ibrahim menamatkan belajarnya di Makah, oleh K. Ghozali kelak akan diberikan kepada Ibrahim putra pertama satu-satunya yang ilmunya sudah mumpuni. Karena tampaknya K. Ibrahim lebih bersikap tawa dlu’ kepada ayahnya, dia enggan menggantikan ayahnya selama ayahnya masih hidup, begitulah jawaban K. Ibrahim ketika disuruh menggantikan ayahnya untuk mengasuh pesantren Cokromenggalan. Oleh karena itu, agar Ibrahim juga ikut berperan aktif dalam pengembangan dakwah agama Islam, K. Ghozali memberinya tanah hadiyah tumenggung Brotonegoro yang masih berupa hutan dan belum berpenduduk yang terletak di timur laut dalem katemenggungan itu kepada Ibrahim. Setelah cukup perbekalan Ibrahim bersama istrinya berpamit kepada ayahnya untuk babat hutan dan menempati tanah yang baru, dan memang betul sebagaimana yang diceritakan banyak punggawa katemenggu ngan bahwa tanah itu terkenal angker, ketika Ibrahim mulai menebangi semak-semak dan pepohonan banyak gangguan dari makhluq halus. Namun pekerjaan itu tetap di lakukan tanpa menyerah sedikitpun, dan ketika ma lam hari tiba gubuk yang di diami Ibrahim ketika babad hutan itu sering di ganggu oleh makhluq halus ber bentuk manusia yang gimbal rambutnya, besar badannya dan hitam kelam kulit tubuhnya yang biasa disebut orang dengan nama Memedi. Akan tetapi Ibrahim tetap tegar menghadapi gangguan-gangguan itu, yang akhir nya dengan do’a-do’a yang di wiridkan, maka para makhluq halus yang berbentuk genderuwo, wewe dan memedi itu tunduk dan menyerah kalah, dan selanjutnya para makhluq halus itu oleh Ibrahim di tempatkan pa da sebuah pohon kayu di sekitar lokasi tanah babadannya. Sampai sekarang pohon dan tempat para makhluq halus itu tetap utuh tidak ada orang yang berani mengusiknya, dan pohon itu letaknya di timur lurung masuk masjid Bedi sebelah tenggaranya masjid. Yang kemudian lingkungan tanah babadan K. Ibrahim itu di namakan dengan nama Bedi dari kata Memedi dengan menghilangkan awalan me menjadi Medi yang akhirnya menjadi Mbedi, karena kata mbedi itu agak berat dalam pengucapan, maka menjadi Bedi. Sampai sekarang wilayah lingkungan yang di babad oleh K. Ibrahim ini di namakan Bedi.