Membicarakan kebudayaan Jawa, sebagaimana yang dikatakan oleh Hefner (1999), seringkali kita merujuk pada kebudayaan Jawa Tengah pedalaman yang mewarisi suatu tradisi kaya, halus, dan hierarkis dari keraton dimana yang memerintah sebagian pulau ini dari abad 17 – 19 M. Sementara sesuatu yang tumbuh dari tradisi masyarakat Jawa yang jauh dari keraton senantiasa dianggap pagan, alias belum mencerminkan budaya Jawa. Bahkan kalangan antropolog generasi Koentjaraningrat-pun sering melihatnya seperti itu.
Keraton yang senantiasa mendendangkan lagu etika keselarasan serta struktur hierarki sosial telah menuntun budaya Jawa memasuki koridor yang kaku dan paten. Sejarah tentang Jawapun sebagaimana digambarkan oleh kontruksi dominan aristokrat keraton yang tertera Pararaton dan Negarakertagama, yakni Jawa yang selalu dalam bingkai heroisme, keagungan dan kejayaan sebuah keraton (baca; negara). Naskah sastra Jawa klasik jarang membongkar hal hal yang teramat tabu dalam wacana keraton yang kental dengan unggah ungguh, semisal ; penggambaran tentang seks, terutama perilaku seks yang tak jamak (“menyimpang”) atau perjuangan kaum kromo[1] (baca:jelata) tampil dalam pusat kekuasaan.
Kalaupun muncul tokoh seperti Ken Arok, maka legitimasi dan narasi cerita yang muncul atas berkuasanya Ken Arok di Singasari {Malang} dikarenakan ia adalah keturunan dari dewa. Karena ia keturunan dewa, maka secara otomatis tidak saja memiliki keabsahan untuk memimpin di tanah Jawa, tetapi juga dianggap sebagai misi suci yang harus dilaksanakan. Seolah ada ketidakpatutan dalam mitologi Jawa jika dalam sejarah kekuasaan raja raja di Jawa, ada yang berasal dari kaum kromo. Sebab kekuasaan dalam pandangan Jawa mainstream haruslah dikendalikan oleh kaum ningrat atau aristokrat, seolah secara stereoptype ningrat lebih memiliki keunggulan atau moralitas yang lebih baik daripada kaum kromo. Demikian pula yang menyangkut tentang seks, naskah naskah Jawa klasik sulit kita temukan secara panjang lebar menggambarkan tentang hal itu, semacam kitab Kamasutranya India.
Barulah ketika Sri Susuhanan V berkuasa, ia mengkreasi sebuah manuskrip Jawa yang berani dan vulgar membongkar pola hubungan seks, bahkan wacana seks yang “menyimpang” dalam konstruk Jawa. Serat Centini adalah maha karya Jawa yang olehnya ingin ditampilkan dalam wacana dekonstrukif atas ketabuan dari nilai nilai Jawa yang memegang etika keselerasan. Entah apa yang ada dibenak Sri Susuhanan V waktu itu, sebab ia telah berani untuk keluar dari kebiasaan kaum ningkrat yang teramat tabu untuk memublikasi wacana seks. Ia tidak saja telah keluar dari regulasi seks yang sangat Victorian, tetapi juga memotret realitas perilaku seks yang telah berkembang pada masyarakat Jawa dimasa ia berkuasa atau bahkan sebelumnya.
Dalam karyanya Professional Dreams: Reflections on Two Javanese Classics (1984) Ben Anderson mengulas dan menganalisis manukrip Jawa, yaitu Serat Centini dan Suluk Gatoloco secara panjang lebar. Centini yang digambarkan oleh Ben Anderson, menceritakan profil orang orang biasa, kisah tentang rakyat kebanyakan atau kaum kromo, seperti; petani, pedagang, penari, musisi, bahkan juga seorang pelacur. Hal yang menarik dalam centini yang digambarkan oleh Ben Anderson adalah hubungan sodomi antara tokoh yang bernama Cebolang dan Adipati untuk menandai proses pergantian kekuasaan politik di Jawa. Ketika sang Adipati selama ini sering berposisi sebagai sang penetrasi dan Cebolang sebagai pihak yang dipenetrasi dalam berhubungan seks, maka dikemudian hari ganti Sang Adipati yang dipenetrasi. Sang Adipati bertanya, “lebih nikmat yang mana, dipenetrasi atau menetrasi?” . Dengan lugas Cebolang menyatakan kepada Sang Adipati bahwa lebih enak berada pada posisi yang menetrasi. Nah, ketika pola hubungan berganti, kini Cebolang sebagai pihak yang melakukan penetrasi terhadap sang Adipati, lebih-lebih digambarkan dengan kelamin Cebolang yang teramat besar, yang berakibat pada rasa sakit atas dubur sang Adipati. Pergantian posisi yang ditulis dalam centini inilah yang menjadi simbol beralihnya kekuasaan, yaitu dari sang Adipati kepada Cebolang.
Sementara dalam Suluk Gatholoco adalah penggambaran perjalanan dan kesatuan kerja genital (kelamin) laki laki, yaitu antara penis dan zakar dalam menjalani kehidupan. Kontruksi kecabulan yang coba dilekatkan kepada Gatholoco oleh Kyai Hasan Besari dan para santrinya dari Ponorogo. Mereka hendak menggambarkan Gatholoco beserta perilaku dan karakternya sesuai makna kata gatholoco itu sendiri, yakni gatho: kelamin laki-laki sedangkan loco ; digosok-gosok. Namun Gatholoco punya cara lain untuk bersiasat. Ia terima “olok-olok” itu, namun dia lanjutkan pemaknaannya. “Gatho memang rahasia, sesuatu yang disembunyikan, siapa yang dapat memegang rahasia, itulah orang utama, misalnya priyayi, demang, penewu, wadana, kliwon, bupati. Berhubung aku ini bukan priyayi, hanya namaku yang utama, agar anak cucuku dapat menjadi priyayi agung’, demikianlah ungkap Gatholoco dalam berbantah dengan Ahmad Arif, santri Kyai Hasan Besari.
Kalau kita menggunakan teori mitologinya Barthes {dalam Jonathan Culler: 2002}, maka upaya Gatholoco adalah bentuk resistensi. Teori mitologi Barthes selalu memberikan ruang hadirnya makna tingkat kedua untuk selalu membuat “alibi”, memberi ruang bagi sebuah penyangkalan atas makna tingkat pertama. Konsep serupa dihadirkan oleh Levis-Strauss (1999) melalui konsep bricolage. Bricolage adalah sebuah tohokan atau tepatnya olok-olok yang ditujukan oleh kelompok-kelompok dominan kepada kelompok-kelompok sub-kultur yang minor dan marjinal. Namun olok-olok itu diterimanya sebagai sebuah cara bahasa baru, tapi oleh kelompok-kelompok sub-kultur yang minor dan marjinal itu cara bahasa baru itu dimaknai ulang, lantas dikembalikan ke dalam ruang publik dengan maksud untuk menohok kelompok-kelompok yang dominan tersebut.
Pembalikan makna yang diproduksi oleh Gatholoco menyiratkan betapa teks {kata} ketika beredar diruang publik itu tidak selalu bermakna tunggal sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulis atau pengucapnya. Teks {kata} itu bisa bermakna lain. Dan Gatholoco membangun makna lain atas makna dirinya yang dikontruksi negatif oleh Kyai hasan besari. Lebih dari itu, Gatholoco hendak mengajak publik untuk lebih terbuka dan berdialog secara cerdas.
Hal hal yang selama ini tabu untuk dibicarakan, oleh Gatholoco mampu dibahasakan untuk tidak tabu lagi diulas dan dibicarakan. Jadi sebetulnya kalau kita telisik secara lebih mendalam diwilayah kejawaan yang sepintas orang melihatnya kedap dari kritisisme, ternyata menyimpan peluang perlawanan, mampu menyuguhkan kontestasi kebudayaan yang elegan. Kini saatnya dialektika kasusastraan itu terus dikembangkan yang pada gilirannya menjadi kekayaan kebudayaan bagi generasi selanjutnya.
Oleh: Paring Waluyo Utomo
Penulis adalah Direktur, Pusat Studi dan Pengembangan
Kebudayaan AVERROES, Malang
dan Research Fellow Desantara, Jakarta.
[1] Kaum
Kromo adalah bentuk pengistilahan yang dibuat oleh dr. Tjipto Mangunkusumo
terhadap kaum kebanyakan dari orang Jawa semasa perlawanan terhadap Kolonial
Belanda pada tahun 1912- 1926 (lihat;Takashi Siraishi (1997); Zaman
Bergerak; Radikalisasi Rakyat di Jawa 1912 1926: Grafiti. Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
>>> Please do not use anonymous ....
>>> Berikan data anda dengan benar.....
>>> Berikan komentar anda sebagai bukti bahwa anda adalah pengunjung dan bukan robot......
>>> Komentar ANONIM tidak akan ditanggapai oleh admin......
>>> Sorry, Admin will not respond to anonymous comments are not clear. so thank you