Kebudayaan masyarakat di Ponorogo kuno secara umum sangat diwarnai oleh tradisi Jawa kuno. Dalam tradisi Jawa kuno ini sangat sedikit sekali pengaruh agama-agama baru. Salah satu tradisi di Ponorgo yang sedikit bertahan hingga kini adalah penempatan diri menjadi Warok. Warok adalah tokoh sufi dalam masyarakat Ponorogo. Karena kesufiannya itu, maka ia menjaga diri dari nafsu-nafsu duniawi. Hal yang memang cukup menggelikan ketika kita menyaksikan warok dalam teks pertunjukkan reyog. Warok justru digambarkan seorang tokoh dengan wajah yang cukup menakutkan, dan bagian dari tokoh pertunjukkan reyog itu sendiri. Kalau menurut sejarahnya, mestinya warok adalah orang yang memegang segala kesalehan sosial. Karena konsistensinya untuk menjaga kebersihan diri dan kesalehan sosial inilah, sampai-sampai Warok menjaga diri untuk tidak “mengumbar” hasrat seksualnya, sekalipun dengan isterinya sendiri. Ada kepercayaan yang dipegang erat dalam mitologi Jawa, bahwa kesaktian diri seseorang akan terjaga dengan baik ketika ia mampu “meregulasi” nafsunya. Oleh karena itu, para Warok di Ponorogo mengangkat seorang bocah lelaki untuk dijadikan gemblak. Gemblak bagi kalangan warok diilustrasikan sebagai “isteri” kedua mereka. Kalau kita menelusuri pertunjukkan reyog tahun 50 – 60 an, gemblak ini pula yang dijadikan pemain jathil oleh seniman reyog. Seorang antropolog Australia bernama Ian Wilson pernah menuliskan panjang lebar soal gemblak. Sosok gemblak dipandang sebagai cara untuk mendamaikan antara potensi seksualitas yang dimiliki oleh setiap manusia dan penghindaran seksual untuk meraih kekuatan spiritual bagi seorang warok. Gemblak adalah anak laki-laki tampan yang berpenampilan lembut dan androgynous. Anak laki-laki tersebut dipilih dari daerah sekitar dan biasanya berusia sekitar delapan sampai enambelas tahun. Warok akan mengirim utusan ke rumah orang tua si anak untuk melamar. Cara pelamaran mirip sekali dengan cara yang digunakan untuk meminang istri dalam perkawinan heteroseksual (Wilson, 1999: 150).
Secara tradisional, orang
tua si anak akan dibayar dalam bentuk seekor sapi untuk setiap tahunnya
selamasi anak bersama si warok. Selain itu, warok juga bertanggung jawab untuk
memberi makan, pakaian dan menyekolahkannya. Bagi keluarga si anak, mereka mendapatkan beberapa
keuntungan, antara lain, keuntungan ekonomis, perlindungan dan prestise
sosial. Hampir
semua gemblak berasal dari keluarga miskin (Effendi, 1998: 219). Ketika sang
gemblak telah dewasa, ada dua hal yang kemudian terjadi. Pertama: sang gemblak
akan tetap menjadi seorang lelaki. Kedua; ia akan menampilkan dirinya
dalam sosoknya sebagai waria, walaupun dengan sembunyi-sembunyi.
Hingga awal tahun 90 an, masih banyak kalangan
orang tua yang sangat bangga ketika anak lelakinya diangkat oleh warok menjadi
gemblak. Sebab warok adalah tokoh sosial yang diakui kesalehannya. Status
sosial warok yang sedemikian tinggi secara otomatis akan mengangkat derajat
dari sang bocah yang menjadi gemblak berikut keluarganya. Tak heran jika
melihat sejarah Ponorogo kuna, banyak orang tua yang bersemangat, ketika
anaknya hendak dijadikan gemblak. Namun pada perkembangannya tradisi memelihara
gemblak ini mulai berubah. Para orang tua di Ponorogo pada awal tahun 90
an mulai memandang berbeda atas tradisi warok-gemblak ini. Mereka mulai
merasa malu ketika anaknya hendak dijadikan gemblak. Sementara itu mereka yang terlanjur menjadi gemblak mulai
terhimpit atas pandangan ini. Hal ini terjadi
dikarenakan pada tahun-tahun itu nilai-nilai lokal mulai diwarnai oleh nilai-nilai
dari “agama baru”, maupun modernisme.
Karena ruang sosialnya
kian terdesak, maka banyak diantara para gemblak yang kemudian menjadi waria
dijalanan. Kehidupan waria di Ponorogo marak terjadi pada
tahun awal 90 an. Memang harus diakui sebelum tahun itu telah muncul kalangan
waria, akan tetapi jumlahnya sangat sedikit dan sembunyi-sembunyi. Embok Selamet (55 tahun), mantan gemblak dan tetua waria
Ponorogo yang tinggal di Kec. Siman, Ponorogo menyatakan bahwa kalangan waria
Ponorogo berani tampil terbuka pada tahun 1994. Mereka berbaur dengan pekerja
seks komersial perempuan di alon-alon Kota Ponorogo. Bahkan dalam
perkembangannya, pekerja seks komersial perempuan mulai bergeser dengan
keberadaan waria. Mereka mulai menempati lahan barunya dibekas terminal lama
Kota Ponorogo.
Embak Mamik (45 tahun),
Ketua Persatuan Waria Ponorogo Perwapo menyatakan anggotanya mencapai 60 an
orang. Dari
jumlah tersebut, waria keluaran tahun 80 an adalah mantan gemblak. Sementara
waria yang muncul pertengahan 90 an hingga sekarang tidak pernah menjalani
hidup sebagai gemblak. “Para warok sekarang
jarang yang memelihara gemblak, mungkin diam-diam”, ujar Mamik. Ungkapan Mamik
menggambarkan betapa terdesaknya entitas gemblak. Mungkin sebagai bentuk untuk
bersiasat, mereka menceburkan diri dalam status waria. Inikah
yang oleh Merlyn Sopjan mantan ratu waria Indonesia yang disebut dengan “Being
waria, it’s the worst option we can take,” Merlyn dalam Koeswinarno,
2004 vii. Hingga saya menuliskan artikel ini memang belum ada gerakan empati
sedikitpun atas nasib yang dialami oleh para waria, khususnya di Ponorogo. Mereka tetap saja menjadi olok-olok, ibarat barang yang
menjijikkan. Kalaupun muncul empati mungkin hanya perbincangan sebatas tentang
kehidupan seksualnya, dan ujung-ujungnya adalah “menormalisasi” waria
dalam pandangan kaum heteroseksual.
Oleh: Paring Waluyo Utomo
Penulis: Direktur
Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (PUPeK) AVERROES, Malang
Thank you fоr any other fantastіc articlе.
BalasHapusWheгe else may аnybody get that kіnd
of іnfо in suсh аn ideаl meanѕ of ωriting?
I've a presentation subsequent week, and I am at the search for such info.
Feel free to visit my web-site - how much is my car worth