Ilmu
apapun itu jika menafikan petunjuk dan prinsip-prinsip dasar thalabul ilmi (mencari
ilmu) akan mengakibatkan jatuh pada kesesatan. Belajar al-Qur’an dan Hadist,
jika niat salah, maka kekeliruan yang didapat. Bahkan bisa tersesat jika konsep
al-Qur’an dan hadisnya salah. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa ilmunya bertambah, namun tidak bertambah petunjuk, maka ia akan
semakin jauh dari Allah.” (HR. Abu Nu’aim). Ilmu
filsafat sering disalah persepsi sebagai ilmu yang menyebabkan orang tersesat.
Ada beberapa sebab ilmu ini dianggap miring, sehingga harus dijauhi. Di
antaranya; pengaruh framework Orientalis Barat. Menurut orientalis, Islam tidak
memiliki tradisi pemikiran rasional dan filosofis. Kaum Muslim hanya
mengadopsi. Akibatnya, yang dipelajari adalah filsafat Barat dengan cara
belajar menurut framework Barat. Implikasi dari pemikiran ini ada dua; pertama,
para mahasiswa yang termakan framework tersebut mempelajari filsafat sekuler.
Filsafat yang dikonstruk ilmuan Barat tanpa reserve dan kajian kritis.
Cara
belajar yang begini yang menjauhkan dari Allah, karena tidak memakai framework
Islam dan worldview Islam. Kedua, sebagian kaum Muslim yang percaya dengan
propaganda orientalis itu langsung ‘memukul rata’ bahwa semua jenis filsafat
haram dan tidak boleh dipelajari karena berasal dari orang Barat yang sekular.
Sebagian
kaum Muslim pun ‘rigid’ dan kaku menyikapi ilmu filsafat. Mereka percaya saja
apa yang dipropagandakan orientalis itu tanpa mengkaji mendalam bagaimana
respon para ulama terdahulu. Dalam tradisi ulama’ terdahulu, telah lama
berkembang persepsi bahwa Islam memiliki tradisi filsafat tersendiri yang
berbeda dan berlawanan dengan filsafat Barat atau Yunani. Ilmu syariat mengawal
dan terus dijadikan pondasi dalam ilmu filsafat. Bahkan beberapa ulama
terdahulu mempelajari ilmu filsafat Yunani dalam rangka mengoreksi dan
mengkritik kekeliruannya. Hanya, ada petunjuk dan kaidah untuk mempelajarinya.
Ibn
Rusyd dalam karyanya Fasl al-Maqal menjelaskan urgensi mempelajari filsafat.
Dalam keterangannya, Ibn Rusyd mengaitkan dengan pemecahan persoalan-persoalan
dalam ilmu syariat. Ibn Rusyd mengungkapkan bahwa syariat Allah itu wajib
diikuti dan membimbing manusia menuju kemulyaan. Filsafat di sini ternyata
bukan filsafat anti-ketuhanan, dan sekular, namun cara berpikir mendalam,
logis, teratur tanpa menafikan wahyu.
Imam
al-Ghazali sesungguhnya juga tidak menolak filsafat. Akan tetapi -- seperti
yang ditulis dalam Tahafut al-Falasifah -- beliau hanya mengkritik prinsip
pemikiran-pemikiran filsafat yang tidak sesuai dengan wahyu. Prinsip-prinsip
filsafat Yunani ia kritik karena bertentangan dengan konsep-konsep Islam.
Al-Ghazali percaya, bahwa Islam memiliki prinsip-prinsip filsafat tersendiri
yang berbeda dengan konsep-konsep asing. Hal ini ia buktikan dalam karya-karya
lainnya seperti Ihya Ulumuddin, al-Mustasyfa, Fada’ih al-Bathiniyyah,al-Munqidz
min al-Dlalal, Kimiya’ al-Sa’adah, dan lain-lain.
Karya-karya
tersebut menyajikan penjelasan prinsip-prinsip memperoleh pengetahuan,
klasifikasi ilmu, logika, cara pemecahan persoalan secara mendalam, sampai ke
akar-akarnya dan sistematis – yang merupakan ciri berpikir filsafat secara
umum.
Bahkan
Ibn Taimiyah dalam Minhaj al-Sunnah menulis bahwa filsafat bisa diterima jika
memenuhi syarat. Yaitu asalkan berdasarkan pada akal dan berpijak pada
kebenaran yang dibawa oleh para Nabi Shalallahu ‘alai wa sallam. Filsafat yang
berdasarkan al-Sunnah ini beliau sebut dengan al-Falsafah al-Shahihah (filsafat
yang benar).
Dengan
demikian, sesungguhnya para ulama’ menerima filsafat sebagai disiplin ilmu yang
bisa dipelajari. Imam al-Ghazali mensyaratkan orang yang sudah memiliki
dasar-dasar agama, berilmu dan cerdas yang boleh mendalami ilmu filsafat dan
mantiq. Orang awam dilarang karena belum memerlukannya. Tuduhan bahwa
al-Ghazali ‘mematikan’ filsafat adalah tidak benar. Penolakan para ulama’
sesungguhnya wajar dan berlaku untuk ilmu-ilmu yang lainnya, tidak hanya
filsafat. Ilmu apa saja, jika tidak sesuai dengan syariat tidak boleh diikuti.
Tiap ilmu memiliki jenjang masing-masing dalam mempelajarinya. Seperti halnya
pelajaran kalkulus tidak diajarkan kepada anak sekolah dasar. Bukan
‘diharamkan’, tapi belum waktunya.
Dalam
Islam, cara berpikir yang mendalam dan logis memiliki prinsipnya tersendiri
yang berbeda dengan prinsip ilmu-ilmu asing. Maka, dalam tradisi para ulama terhadahulu
sudah biasa terjadi adapsi (modifikasi) ilmu yang berasal dari Yunani.
Prinsip-prinsip yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan dibuang dan
diganti dengan konsep-konsep Islami. Ini merupakan sesuatu yang alami dalam
dialektika peradaban.
Michael
Marmura -- seperti ditulis oleh Hamid Fahmy Zarkasyi -- mengatakan cendekiawan
Muslim bukan hanya sekedar menterjemahkan karya-karya Yunani tanpa memprosesnya
lebih lanjut. Tidak semua konsep Yunani diterima, ada proses seleksi,
pemurnian, modifikasi dan reformulasi konsep. Aktifitas menyeleksi konsep tentu
tidak dapat dilakukan kecuali cendekiawan Muslim memiliki pengetahuan
sebelumnya tentang mantiq, filsafat dan tentunya prinsip-prinsip dasar akidah
Islam. Berarti, mereka memiliki tradisi berpikir yang kritis, analitis, tertib
dan mendalam.
Jika
filsafat dimaknai secara umum sebagai metode berpikir yang mendalam,
sistematis, evaluatif, analtitis dan tertib, maka dalam tradisi ilmu-ilmu Islam
kita menjumpainya. Hamid Fahmy Zarkasyi mencatat bahwa banyak orang yang tidak
sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam ilmu-ilmu Islam
seperti Tafsir, Hadis, Ushul Fikih, Ilmu Kalam, Tasawwuf.
Wacana-wacana
dalam ilmu-ilmu Islam yang meliputi masalah-masalah Tuhan, akhlak, alam
semesta, penciptaan, kehidupan dunia-akherat dan sebagainya sudah dapat
diklasifikasi kedalam metafisika, epistemologi dan kosmologi, dan masuk kedalam
kategori filsafat. Para ulama telah mengkajinya sebelum berkenalan dengan
pemikiran filsafat Yunani. Adapun tuduhan bahwa kaum Muslim baru mengenal
filsafat setelah membaca karya-karya Yunani adalah tuduhan orientalis.
Orientalis
Alfred Gullimaune, O’Leary dan lain-lain mengatakan bahwa Islam tidak memiliki
tradisi berpikir yang logis dan argumentatif mendalam. Penilaian ini tidak
tepat, tujuannya untuk merendahkan tradisi pemikiran ulama, yang sesungguhnya
sangat maju dan canggih.
Dengan
demikian prinsip-prinsip dasar dalam filsafat telah ada dan menjadi bagian
dalam tradisi keilmuan Islam. Kaidah Ushul Fikih yang disusun oleh Imam
al-Syafi’i mengandung logika-logika yang canggih. Al-Jili menulis kitab mantiq.
Para mutakallimun Sunni (teolog Muslim) membantah pemikiran Mu’tazilah dengan
metode berpikir yang argumentatif, mendalam dan tertata – tanpa mengabaikan
dalil-dalil al-Qur’an al-Sunnah. Jadi, tradisi berpikir filosofis dalam tradisi
ulama Islam tidaklah asing, ia jauh telah ada sebelum para cendekiawan Arab
bersentuhan dengan pemikiran Yunani. Filsafat Islam memiliki framework
tersendiri.
Penggunaan
prinsip-prinsip dasar logika dan filsafat sesungguhnya telah digunakan oleh
para ulama terdahulu dengan dua tujuan.
Pertama,
memecahkan problem-problem keilmuan dan konsep-konsep dasar dalam Islam.
Penjelasan tentang sumber kebenaran, klasifikasi ilmu dan pemilahan ilmu-ilmu
yang baik dan buruk menurut syariat dikaji dalam konteks pemikiran yang
sekarang disebut filosofis.
Ketika
para ulama membahas konsep ilmu, maka itu sudah dapat dikatakan pembahasannya
masuk wilayah filsafat. Jadi, sesungguhnya filsafat dalam koridor Islam itu
sudah menjadi bagian dari disiplin ilmu-ilmu keislaman. Kajian tentang konsep
dan prinsip-prinsip ilmu dalam ilmu filsafat disebut epistemologi.
Kedua,
para ulama mendalami prinsip-prinsip filsafat dalam rangka mengkritik dan
mengoreksi pemikiran asing, yang tidak sesuai dengan konsep Islam. Untuk itu,
yang dipelajari adalah filsafat ‘asing’ dan filsafat yang Islami. Imam
al-Ghazali telah melakukannya. Untuk mengetahui kesalahan-kesalahan mendasar,
Imam al-Ghazali mendalami terlebih dahulu prinsip-prinsip filsafat Yunani yang
bertentangan dengan Islam.
Syed
Muhammad Naquib al-Attas mengindentifikasi bahwa kemunduran umat Islam dalam
berbagai bidang pada dasarnya disebabkan merebaknya penyakit kekeliruan ilmu
yang dialami kaum Muslim. Kesalahan ilmu dan kekurangan ilmu itu disebabkan
invasi ilmu Barat yang sangat gencar menyerang jiwa dan kalbu kaum Muslimin
(Syed MN. al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hal. 5). Bahkan menurut
al-Attas, bagi cendekiawan Muslim mempelajari peradaban (termasuk filsafat)
Barat hukumnya fardlu kifayah. Sebab, tanpa mengetahuinya kita tidak mempu
mengkritik dan membenahinya. Tidak semua memang perlu mempelajarinya, menurut
Imam al-Ghazali, itu hanya untuk orang yang berilmu, orang awam dilarang
mempelajarinya. Artinya, ini bagi yang telah memiliki bekal dasar-dasar akidah,
mantiq dan syariah yang kuat.
Untuk
itu bagi kita yang mempelajari filsafat, hendaknya ditata niat baik-baik.
Segala aktifitas keilmuan adalah semata demi mendapatkan kebahagiaan (sa’adah)
akhirat.
Artinya,
niat untuk berjuang li i’laa’i kalimatillah. Kita juga perlu memakai framework
Islam, bukan framework Barat. Hal ini berarti, pertama-tama akidah harus
dikuatkan. Karena, seperti petunjuk Imam al-Ghazali dan Syed al-Attas, bahwa
kita mempelajari ilmu ini dalam rangka membela konsep-konsep Islam, menguatkan
akidah umat. Dengan framework Islam, filsafat menjadi alat mengokohkan akidah,
bukan malah mendekonstruksinya atau menjadikan pluralis atau sekularis.
Penulis
adalah peneliti InPAS Surabaya, alumni Pascasarjana ISID Gontor.
framework ISLAM?
BalasHapus